"Ini salah kamu."
Axel tidak mau mendengarkan ocehan Mai. Tapi, gadis ini terus saja beropini kalau nasib sial mereka sekarang adalah kesalahannya. Dia sendiri juga tidak mau hukumannya diperparah dengan berdiri di bawah tiang bendera lapangan tengah.
Lapangan ini berada di antara bangunan sekolah, di sekitar tiang bendera ada mimbar untuk berpidato. Selain untuk keperluan upacara, tempat ini juga terbiasa dijadikan senam mingguan.
Meskipun banyak pepohonan yang ditanam di sekitar lapangan, tapi tetap saja sinar mentari terik sekali saat hari mulai siang.
Bagi Axel yang terbiasa dengan dinginnya hutan, berada di sekolah tengah kota dengan suhu panasnya gila begini, sangat menyiksa. Dia lebih memilih bertarung saja ketimbang berdiam layaknya patung di bawah sengatan cahaya matahari.
"Axel?" Mai menoleh ke Axel yang berdiri di sampingnya. Dia sangat malu dengan papan yang ada tergantung di dada mereka yang berbunyi:
Saya tidak mengerjakan PR
Dari semua guru, hanya guru Matematika yang kalau memberikan hukuman sangat memalukan. Mai dan Axel hanya diminta berdiri di lapangan sampai jam istirahat selesai.
Jelas sekali semua murid bisa melihat mereka sekarang, sebagian besar memotret mereka, lalu sebagian tertawa, sebagian lain menggoda. Berita di sekolah pasti merebak cepat bagaikan racun di udara.
Axel benar-benar makin terpuruk. Dia tidak paham, kenapa harus ikut menanggung hukuman? Kenapa dia tadi membuang buku PR miliinya hanya demi bersama Mai?
Mai terus tertunduk lesu. "Axel, ngomong, dong."
Axel menghindar selangkah dari Mai. Dengan suara lirih sekaligus dingin, dia menggumam, "menjauhlah sedikit."
Akan tetapi, Mai mendekat selangkah. Dia seperti sudah naluri ingin melakukannya. Semakin Axel menjauh, semakin ingin dia dekati. "Pembicaraan kita tadi belum selesai. Apa hubungannya kalian dan orang hilang di kota?"
Axel menoleh pada Mai dengan pupil mata yang sengaja dia ubah menjadi layaknya mata binatang. Mata berpupil hitam itu mendadak berubah menjadi kekuningan dengan pupil hitam yang membentuk garis vertikal. Iya, sebagaimana mata para binatang karnivora.
Mai menyingkir selangkah. Dia menunduk kembali dengan bibir terus menggerutu tentang betapa buruk sifat Axel. Kemarin baik, sekarang dingin, besok entahlah.
"Kalau aku bilang gak usah ikut campur, ya jangan ikut campur." Axel berkedip, dan pupilnya membesar kembali.
Tak lama berselang bel sudah berbunyi, waktu istirahat sudah selesai, dan hukuman mereka juga harusnya usai.
Akan tetapi, belum sempat pergi, ada lebah yang mulai meneror mereka berdua. Binatang kecil itu terus terbang di antara mereka. Meskipun sudah dikibaskan oleh Mai, tapi tetap saja terus terbang rendah di sekitar wajahnya.
"Axel, ada lebah." Mai tidak nyaman, dan sering menabrak lengan Axel karena menghindari lebah itu.
Axel bersikap tidak peduli. Tapi, detak jantungnya jadi tidak karuhan setiap kali lengan Mai bersentuhan dengannya. Padahal ada kain seragam yang memisahkan, tapi efeknya ternyata lebih gila daripada yang Axel bayangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KELABU (Werewolf Story) [END]
Teen FictionSejak kembali ke sekolah, kehadiran murid baru, Axel, selalu mengundang perhatian Mai. Gadis itu sering memperhatikannya dimanapun, kelas, kantin, halaman, dan lainnya. Axel sangat misterius. Dia selalu menghindari Mai sejak tahu gadis itu berbau ma...