Badan Mai terus bergerak, mana mungkin nyaman digendong laki-laki, sekalipun pacar sendiri. Ia merasa mirip kepiting yang nempel di punggung Axel
Axel kesal karena itu. “Jangan gerak mulu, Mai, kamu ini berat.”
“Enak aja, aku gak berat, kamu aja yang gak kuat, gitu sok-sok gendong, dasar kerempeng.”
“Heh, kalo ngomong itu mikir, ya, kerempeng darimananya ini? Tubuhku itu atletis, otot semua, gak kayak betis kamu ini kegedean, isinya lemak semua,” omel Axel sembari menyentuh betis Mai dengan tangannya yang masih sakit.
“Banyak omong kamu sekarang, ya? Mending tadi jadi gumpalan bulu aja, diem, jadi keset sekalian.”
“Kok bisa ya aku suka sama kamu?”
“Aku kan cantik, wajar banyak yang suka.”
“PD banget kamu.”
“Iya dong, aku ini cantik, berprestasi pula, di SMP dulu aku ketua tim cheers, sekarang SMA, jadi atlit voli sekolah ...”
“Oh, masa?” Nada bicara Axel seperti meremehkan. “Kamu?”
“Iya lah.”
“Tapi aku gak tanya.”
“Cuma ngasih tahu, kan kamu orangnya songong, perlu dikasih paham. Kamu itu gak berprestasi, suram, di kelas diem mulu di pojokan. Harusnya aku yang bilang, kok bisa ya Permaisuri cantik kayak aku suka sama kang kebon kayak kamu ...”
“Udah ngomelnya?”
“Kamu yang ngomel duluan!”
“Udah dibilangin jangan banyak gerak, ini makin berat, Mak Lemak.”
Bukannya berhenti bergerak, Mai malah mencak-mencak di punggung Axel. Dia tidak terima selalu dimarahi.
“Mai!” Axel sangat emosian kalau sedang kesakitan. Karena dengan emosi, lukanya jadi tidak terasa.
“Mai, Mai, Mai terus.” Mai makin menjadi-jadi dengan menjambak rambut Axel hingga membuatnya makin acak-acakan. “Kalo manggil pacar itu yang lembut! Kamu kalo manggil itu kayak orang nantang mulu! Lah kita ini pacaran apa tawuran? Kapan uwu-nya?”
“Terus kamu mau dipanggil apa? Emang kamu gak cocok dinamain Permaisuri, jadi Selir aja udah. Aku panggil Selir, ya?”
“Panggil Sayang, dong.”
Sebenarnya, Axel itu antara malu dan resah kalau memanggil sayang untuk Mai, terlebih di tempat umum. Lidahnya terasa mengkerut jika mengucapkan itu. “Ogah.”
“Kayaknya mending aku cari pacar lagi.”
“Oh gitu? Mending aku buang ke selokan kamu ...” Axel berlari di sepanjang trotoar itu menuju ke ujung jalan yang memang terlihat ada selokan yang sudah kering.
Mai berpegangan erat di rambut pendek Axel karena takut jatuh. Cara berlari Axel memang berbahaya. “Axel! Bahaya loh!”
Jalanan ini memang sepi, mana tidak ada bangunan sama sekali, hanya ada pohon peneduh di sepanjang jalan, jadi pertengkaran mereka berdua seolah menggema dimana-mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
KELABU (Werewolf Story) [END]
Teen FictionSejak kembali ke sekolah, kehadiran murid baru, Axel, selalu mengundang perhatian Mai. Gadis itu sering memperhatikannya dimanapun, kelas, kantin, halaman, dan lainnya. Axel sangat misterius. Dia selalu menghindari Mai sejak tahu gadis itu berbau ma...