08. Hukuman (a)

12.4K 2K 125
                                    

Rutinitas ayah Mai setiap pagi memang duduk di salah satu kursi yang melingkari meja makan, menanti sarapan matang sembari membaca koran. Hari ini, dia tidak memakai seragam dinas karena memang sedang libur. Semenjak banyak aktifitas penculikan di kota, beberapa polisi dari Ibukota berdatangan untuk mengambil alih kepemimpinan. Karena itulah, sebagian besar polisi diliburkan sementara.

Sejak bertemu dengan Axel hingga sekarang, Mai masih gelisah. Dia menjadi pendiam.

Setiap ibunya bertanya, "Ada apa, Sayang?"

Jawaban dari Mai hanya gelengan kepala.

Setelah itu, dia pergi mendahului untuk masuk ke mobil. Sepanjang perjalanan ke sekolah pun, dia tak berkomunikasi dengan ayahnya.

Ayah mendehem untuk memecah keheningan di dalam mobil. Tatapan matanya tertuju di jalanan, sesekali menatap anaknya yang duduk di kursi samping. Dia membuka obrolan dengan berkata, "betis kamu udah baikan, Mai?"

Mai hanya mengangguk. Dia tidak sedih, tapi memang tidak ingin berbicara. Mimpi buruk, serigala, Axel, guru olah raga menggila, penculikan dan lain sebagainya. Ada banyak sekali yang memenuhi pikirannya. Dia ingin tidak terlibat, tapi perasaannya tidak mau lepas dari sosok Axel.

Kepalanya pusing, karena itulah lebih baik diam.

Tiba di sekolah, Mai juga diam saja. Dia masuk ke kelas dan duduk seperti biasa. Kelas sudah ramai oleh teman-temannya.

Mimpi dikejar serigala. Axel ternyata manusia serigala. Guru olah raganya pun serigala jahat. Isi kepalanya bak awan mendung sekarang.

Ketika Axel masuk kelas, jantung Mai berdebar-debar, perasaannya tak karuhan. Dia tak ingin melihatnya, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Memandang Axel seperti membuatnya melayang ke awang-awang. Ia sampai menampar pipi sendiri agar kembali ke kenyataan.

"Sial!" Ia geram pada diri sendiri.

Axel sempat menatapnya juga, tapi kemudian dia memalingkan wajah seolah tidak menganggap gadis itu ada. Dia mendadak seperti patung hiasan saat di kelas. Baru duduk di bangku, dia sudah mengeluarkan buku gambar, lalu menyibukkan diri dengan gambaran.

Mai tersinggung dengan sikap itu. Dia merasa kalau Axel seperti lupa kejadian kemarin. Padahal, laki-laki itu sudah menerobos masuk ke kamarnya. Tangannya mengepal, ingin sekali menonjol muka Axel yang datar seperti tembok itu.

Kayla selalu memperhatikan tingkah Mai dan Axel. Dia beserta teman kelasnya yang lain sudah curiga kalau keduanya sedang dekat.

Hingga kemudian, seorang guru matematika bernama Marjan datang. Pria paruh baya ini selalu kelihatan tegang dan serius. Wajahnya kaku, jarang sekali tersenyum.

Begitu masuk kelas, dia langsung meminta muridnya untuk mengumpulkan tugas. Dan, satu per satu para murid menyerahkan buku tugas ke meja guru.

Tapi, Mai tidak melakukannya karena dia baru ingat kalau tidak mengerjakan. Dia meneguk ludah dengan ekspresi pucat.

"Mai? Mana buku tugasmu?" tanya Pak Marjan curiga, "kamu ngerjain tugas gak?"

"Maaf, Pak." Mai tertunduk lesu, takut dimarahi.

"Ini kan sudah dua hari, kok gak kamu kerjain?"

KELABU (Werewolf Story) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang