01. Murid Baru

21.9K 2.6K 288
                                    

Kelabu.

Pagi ini hingga nanti malam, cuaca kota Bekasi diperkirakan akan mendung. Gumpalan awan-awan kelabu tampak menggantung di langit— sesekali gemuruh terdengar. Meskipun demikian, Mai tetap semangat untuk bersekolah kembali.

Sudah sebulan lamanya dia absen akibat cedera di betis sebelah kirinya. Bahkan sampai sekarang masih dalam kondisi diperban. Otot pada betisnya terluka akibat terjatuh di atas lapangan saat membela sekolahnya di ajang voli tahunan nasional. Beruntung, kata dokter, dia tidak sampai mengalami patah tulang.

Seragam putih hitam dirangkap sweter biru tua dengan bordiran berupa lambang sekolah sudah melekat di tubuh rampingnya. Nama dadanya juga telah terpasang berbunyi: Permaisuri C. Dinata.

Mai memperhatikan diri sendiri di depan cermin meja rias. Rambut hitam berombak. Wajah manis terhias oleh sepasang mata kecil dan bibir tipis. Sekilas dia seperti murid SMP, padahal dia sudah kelas sebelas SMA.

Tak berselang lama, terdengar suara wanita berseru dari luar kamar, “Mai! Sarapan siap, Sayang, cepat turun!”

“Iya.”

Mai keluar dari kamarnya, lalu menuruni anak tangga, menuju ke ruang makan. Sebagai anak satu-satunya di keluarga Dinata, tak heran suasana rumah ini sangat sunyi. Dia hanya tinggal bersama orangtuanya saja.

Sang ayah, yang saat ini sedang menduduki salah satu kursi yang mengintari meja makan, merupakan polisi yang bertugas di wilayah kota. Itu sudah bisa dipastikan dari seragam yang dia kenakan. Sekarang, posisinya hanya bertugas di bagian administrasi.

Pria empat puluh tahunan ini terlihat serius membaca surat kabar hari ini. Pada headline koran tersebut tertulis:

MOBIL MASUK JURANG, DUA ORANG TEWAS.

Selama empat bulan terakhir, tingkat kecelakaan dan orang hilang meningkat. Selain itu, akhir dari nasib orang hilang 90% selalu berakhir sama yaitu tewas dengan kondisi jantung hilang seolah telah dicabik binatang buas. Terlebih lagi, penemuan mayat mereka selalu berada di sekitaran hutan atau jalanan sepi.

Pihak petugas hutan ditemani oleh para ahli sudah menyelidiki tentang kemungkinan serangan binatang buas, tapi tidak menemukan hasil apapun. Tidak ada harimau, beruang, serigala atau singa yang terlihat berkeliaran di sekitaran mayat-mayat ditemukan.

Aneh memang, itulah yang membuat Papa Mai sampai terlalu fokus hingga tak sadar sudah disapa berulang kali oleh putrinya.

Langkah kaki Mai tampak agak pincang. Rasa nyeri di betisnya masih suka kambuh kalau telat meminum obat.

“Pa?” sapanya untuk kesekian kalinya sembari menarik kursi, lalu duduk. Dia memperhatikan piring dan gelas yang sudah tersedia di hadapannya. Sarapan hari ini adalah nasi goreng, telur mata sapi dan jus jeruk.

Papa mengangkat kepala, lalu melipat korannya. Dia menghela napas panjang dan menyapa balik, “Pagi, Mai, kaki kamu gimana?”

“Sudah mendingan, Pa.”

Mama datang dengan membawakan satu teko kopi. Wanita tiga puluh tahunan itu masih mengenakan gaun tidur berbahan satin.

Selepas menuangkan kopi, wanita itu duduk di kursinya, lalu menatap mereka berdua. “Akhir-akhir ini banyak berita orang hilang, jadi Papa dan Mai harus hati-hati ya, kalau udah waktunya pulang, jangan malah main kemana-mana, terutama kamu, Mai—” Dia memusatkan pandangan kepada sang putri. “Beritanya banyak pemuda dan gadis yang hilang, kebanyakan waktu kemah atau jalan-jalan ke lokasi wisata alam. Kalo kamu diajak main sama temen-temen kamu kesana, jangan mau.”

KELABU (Werewolf Story) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang