24. HP (b)

7.9K 1.5K 131
                                    

Gelap. Bau. Sesak.

“TOLONG!” Mai menjerit keras. Dia tidak pernah merasakan ini seumur hidupnya. Dia mengira kalau sudah diculik dari sekolahan.  “AXEL!”

Setelah sekuat tenaga menarik tangannya, dia berhasil melepaskan ikatan tali itu. Akibatnya pergelangan tangannya kemerahan dan lecet.

Sembari menggedor, menjejak pintu lemari, dia terus menjerit keras, “TOLONG!”

Suaranya terdengar di telinga Axel, tetapi pengaruh udara yang buruk ini membuat seluruh inderanya perlahan kacau. Dia seperti mendengar suara Mai memantul di mana-mana.

“Mai!” Axel mencari ke ruang ekstrakurikuler, dan terlihat ada Riki yang masih pingsan. Sayangnya, tidak ada Mai dimanapun. “Maaii!”

Dia terbiasa mengandalkan Mind link saat mencari anggota keluarga atau teman satu kelompok, tapi tak bisa sama sekali diterapkan pada Mai.

“Oh.” Axel baru sadar kalau sudah memiliki ponsel. Dia sontak menelpon satu-satunya kontak yang ada di ponsel barunya itu.

Di dalam lemari, Mai terkejut karena saku roknya berbunyi. Saking paniknya, dia lupa kalau memiliki alat komunikasi. Dia pun mengangkat panggilan tersebut dengan tangan gemetaran.

”Axel ... Tolong tolong, aku ada di lemari,” katanya dengan suara bergetar.

“Lemari?”

“Gak tau ini dimana, tolong ...”

“Bentar, jangan takut.” Axel ikut panik. Dia mengikuti sumber suara dan aroma Mai ke gudang samping ruangan ekstrakuriler.

Benar saja, dia melihat gembok hancur tidak normal. Dia mengantongi ponselnya, lalu masuk ke dalam gudang gelap itu.

“AXEL!”

Terdengar Mai menggedor pintu lemari dengan sedikit ekstrim. Dia terlalu ketakutan karena udara di sekitarnya sudah menipis.

Axel berlari ke lemari yang mengurung Mai, lalu menarik gagang pintu terlalu cepat hingga engsel rusak dan terlepas. Seketika itu pula tubuh Mai jatuh ke pelukannya.

Mai menangis sesenggukan sembari menyembunyikan wajahnya di dada Axel. Rasa takut masih ada, tetapi sudah mulai menyusut saat melihat Axel, bukan pria mengerikan seperti sebelumnya.

“Mai?” Axel melihat pundak Mai masih gemetar. Dia tidak menyangka kalau Mai ada kemungkinan memiliki fobia ruang sempit dan gelap. “Siapa yang melakukan ini?”

Mai menggeleng dengan wajah yang masih terbenam di dada Axel. Ia juga tampak meremas kemeja depannya. Suara terasa tertahan di tenggorokan, tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.

“Jangan takut, gak ada apa-apa. Aku disini..” Axel mengelus rambut Mai yang kuncirannya sudah berantakan itu.

Mai mendongak untuk melihat Axel. Air matanya tampak membasahi mata dan pipi. Mata, bibir hidung, semuanya kemerahan karena tangisannya.

Sudah pasti dia sangat syok dengan kejadian semacam ini. Sepanjang hidup, dia tidak pernah berada di situasi seperti itu.

Axel seperti ingin menangis pula karena merasa bersalah. Sejak bertemu dengannya, Mai terjebak masalah terus padahal masih di kawasan sekolah yang seharusnya aman. Dia mengusap air mata Mai dengan ibu jarinya.

KELABU (Werewolf Story) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang