30. Ajang Penantian

2 2 0
                                    

" Mama is the best!!" pekikku memeluk erat tubuh Mama.

Sesegera mungkin aku membereskan buku-buku di meja dan bersiap. meski aku tidak bisa ikut kompetisi itu tapi Alhamdulillah Mama mau mengizinkan aku melihat dan menemani teman-temanku ikut kompetisi. setidaknya hati terasa sedikit ringan sehabis rasa sakit akan mimpi yang tak bisa aku gapai.

aku berlari cepat-cepat tidak mau membuat taman-tamanku menunggu di ujung jalan sana bersama angkot yang mereka sewa. mereka memutuskan untuk pergi bersama kecuali Gian.

"Guys ..." sapaku terngah-engah. aku lelah berlari saking semangatnya. tapi tidak papa, lelah itu tidak sebanding dengan bahagia yang aku rasakan saat ini.

Gian datang bersama motornya satu menit setelah aku sampai.

"capek Luk?" tanya Gian datar. dia membuka helm. aku merungut kesal. baru sadar kalau ternyata Gian mengekor di belakangku. yang membuat aku kesal bukan mengekornya. tapi, sudah tahu aku berlari dengan tujuan yang sama apa salahnya memberi tumpangan. menyebalkan kan?.

"Udah mepet nih, Ayuk buruan!" Denim mencairkan suasana.

aku masuk angkot terlebih dahulu. disusul yang lain. lalu Gian melajukan motornya terlebih dahulu barulah angkot menyusul di belakang. 15 menit perjalanan Gian berbelok ke kanan saat di persimpangan jalan dan kami tidak mempertanyakan itu, karena memang tidak harus dipertanyakan.

"ini tenda kita, kalian langsung bersiap" instruksi Dian. Dian sudah mengurus semuanya mulai dari pendaftaran, kostum, tenda bahkan konsumsi. dia cocok menjadi manager Oceanon's Parkour. aku tersenyum bangga melihat mereka tampak gagah dengan kostum itu. pada bagian dada kanan mereka tertulis jelas nama tim kami. OCEANON'S PARKOUR.

"eh tunggu! Gian mana Gian" sontak aku bersuara panik. aku baru menyadari itu saat anggota kurang satu. harusnya kurang dua denganku tapi panitia mengizinkan kami tampil empat orang saja.

seketika semua ikutan panik. mereka celingak-celinguk, melihat ke sekeliling. tak sedikit pun nampak batang hidung Gian.

"Cudii gimana nih?" cemasku. acara sudah dimulai. urut nomor peserta sudah mulai berjalan. 15 menit, 20 menit Kemudian Gian belum juga datang.

"Goblok banget sih tuh anak!! tadi dia didepan kan!?" Julian bersuara kesal. dia berdiri di pintu tenda. tangannya mengepal.

"tenang, kalian semua tenang ya. jangan panik gitu nanti pas tampil gak maksimal" Dian dalam paniknya mencoba menenangkan. bagaimana mungkin bisa menenangkan kalo dia gak bisa menenangkan diri sendiri.

aku mondar-mandir menggigit jari. aku gak bisa diam gini aja. aku gak mau mimpiku dan teman-temanku kandas begitu saja hanya karena Gian. mungkin ini memang bukan kompetisi dunia hanya tingkat kota tapi tetap saja ini suatu awal dari kesempurnaan.

"Gue cari Gian!" terangku meluncur begitu saja. sontak semua mata mengarah padaku dengan ketidak yakinan.

"tapi ini udah jam berapa luk? nomor urut kita bentar lagiiii" Vokan kini yang bersuara. dia malah tidak bisa duduk dengan tenang. hanya Denim yang duduk di sofa tampak tenang tapi dalam hati dia cemas, panik tak terbendung terlihat dari kakinya yang menghentak lantai tidak bisa diam.

"gue ikut!" sahut Denim tiba-tiba. dia berdiri dari duduknya. aku mengernyit.

"lo gila!!" gubrisku.

"ya terus sekarang gimana?" Dian semakin panik. bahkan matanya sudah berkaca-kaca.

"lo kan manajer nya, lo harusnya mikir dong Cud!! cari solusinya!!" ketus Gian. Dian kesal lalu menangis karena tidak sanggup lagi.

"maksud lo apa, Pok? kenapa harus dia yang mikir? kalo harus dia yang mikir terus otak lo apa guna!?" Julian membela. dia tidak suka dengan ucapan Vokan. begitupun aku dan Denim. aku merangkul bahu Dian.

"iya ini salah gue. harusnya gue bisa mastiin kalian lengkap" isak Dian. dia mengusap cairan bening yang keluar dari hidungnya.

aku tidak tahan. sumpah serapah, umpatan terus aku lontarkan untuk Gian dalam hati. suara dentum musik yang keras justru membuatku kesal karena lagu tidak sesuai dengan suasana saat ini.

aku lelah, aku pasrah. aku bingung, sekarang bagaimana mana? tak ada solusi yang terpancar di otak kami.

"fixs! gue harus cari si bangsat itu!" seruku bergegas keluar. tapi Julian mencegat pergelangan tanganku saat di pintu. mataku panas, entah karena apa. karena marah? kecewa? sedih? atau karena ingin menangis? atau karena pasrah? atau karena semuanya.

"lepasin Jul!!" aku berusaha menepis. tapi cengkraman Julian terlalu kuat aku kesakitan dan kesusahan.

"gue harus cari Gian jul!! kalian harus tampil!!" bentakku masih berusaha melepaskan. Julian hanya menatapku. membiarkan aku memberontak dan berbicara penuh bentakan.

"lepasin!! lepasin julian!!" kini suaraku meninggi. sedikit cengkraman Julian melonggar. masa aku harus begitu terus supaya melonggar, kan gak mungkin.

mataku melotot melawan tatapannya. Julian ingin terkekeh tapi di tepisnya karena ini bukan saatnya.

"lo gak boleh pergi" akhirnya Julian bersuara. aku mengernyit menatap nanar padanya.

"bagaimana mungkin!? disini gue yang gak ikut dan berperan jadi gue yang harus cari dia!" aku melawan.

"lo mau cari kemana?" aku terdiam gugup. aku juga tidak tahu mau cari Gian kemana, dalam pikiranku aku harus mencari dia dulu.

"ya kemana aja!" nadaku ketus dan tinggi setiap menanggapi.

"udah lah, Luk. gue pasrah. diskualifikasi, diskualifikasi lah sana! udah gak mood gue" ujar Vokan. nadanya lesu, pasrah dan sedih.

dia terduduk di samping Denim. meringkuk disana. sepertinya dia juga sedang menahan tangis, karena ia seorang laki-laki. malu jika harus menangis. dia sudah menjadi bocah 17 tahun bukan bocah 5 tahun lagi yang kalo ingin menangis tinggal menangis saja. aku terdiam. rasanya perih melihat mereka seperti ini, usaha keras dan latihan mati-matian berujung pada kehampaan, kesia-siaan. aku marah sangat marah ingin rasanya aku bertemu Gian dan membakarnya hidup-hidup.

"please, Luk. jangan pergi, gak usah cari Gian, sumpah gue muak sama tu anak!" suara Julian membuatku meringis.

"tapi kalian gimanaaa!? gua mau kalian sampe gak tampil, Julian!?" aku masih tidak bisa terima, dan terus menyanggah.

"gue pasrah" kini Denim yang bersuara. dia masih terdiam di tempatnya. Dian geleng-geleng dalam isaknya tidak sanggup dengan keadaan ini.

aku menatap Julian. aku berharap padanya. aku benar-benar tidak bisa menerima ini dengan cuma-cuma. seseorang harus membayar ini yaitu Gian si brengsek itu.

"denger! setelah nomor ini tampil kita yang tampil kan?" aku mengangguk lesu. tapi tunggu, suara teriak itu. teriakan yang lebih ramai dan bersemangat dari teriakan penonton pada sebelumnya.

aku menyeka air mata. berlari keluar tenda untuk memastikan dengan jelas apakah aku salah dengar? teriakan penonton begitu heboh. jantungku berdegup sangat kencang. aku berharap aku salah mendengar.

"Mau kemana Luk? Liluk!?" teriak mereka bersahut-sahutan. mereka cemas aku mau melakukan sesuatu yang merugikan. mereka menyusulku dibelakang.



Salam Manis
LumutHijau_

Dabus'd & You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang