39. 7 Menit

15 1 0
                                    

Kamu tau? sakit itu, saat aku mulai memandangmu dan mendekat tapi kamu berpaling dan menjauh, dan kamu tau? sakit itu, saat aku mulai membuka hati dan ingin memilikimu tapi kamu malah memilihnya.

__Lumut Hijau__

"Gue minta maaf ya, Bro"

Gian menoleh, keningnya berkedut bingung. aku menendang pahanya dan membelalangi, memberi kode untuk membalas permintaan maaf Vokan.

"Ya, gue juga" jawab Gian singkat.

Dabus'd, kata itu sudah disepakati bersama untuk nama komunitas kami. Aku tersenyum lega. aku berdiri menghampiri Gian, kalian harus tau berapa jam lamanya waktu untuk aku meyakinkan diri, menghilangkan gengsi, dan mengumpulkan nyali untuk membahas sesuatu ini.

Aku menarik tangan Gian berdiri dan menariknya keluar. Gian bertanya aku tak menjawab. yang lain melongo bingung melihat kami melongos pergi begitu saja.

"udah. ayo buruan!" gegasku bersemangat. Gian menurut.

motor melaju pergi, aku mengarahkan jalan menuju sebuah cafe kecil tapi tampilannya menarik karena estetik cafe tersebut menarik minat pengunjung. motor berhenti, aku kembali menarik lengan Gian untuk bergegas. moment ini dadakan jadi wajar jikalau tidak ada suasana romantis nya.

"Duh, gue pusing tau, Luk. kita mau ngapain sih? ngopi?" keluh Gian setelah kami mendapat posisi duduk yang nyaman.

"Gii, gue mau ngomong serius, gak gampang tau ngumpulin ini, lo tau kan nyali gue seutek" balasku. Gian hanya mengangguk kecil.

Aku menarik napas dalam lalu buang. begitu seterusnya sampai akhirnya aku menatap Gian sangat lekat dan dalam.

"Gue gak tau gimana cara ngomongnya. tapi jujur, Gian gue gak tau harus gimana lagi, gue juga baru nyadarin ini, dan gue juga baru sadar sama tingkah lo, perlakuan lo sama gue itu ngelelehin hati gue, gue gak pernah secinta ini sama laki-laki terus—"

"Cukup, Luk"

Ucapanku yang entah bagaimana aku selancar itu mengatakannya tapi di potong oleh Gian. ucapan Gian membuatku berhenti. Oh, nadanya, nadanya saat mengatakan cukup entah kenapa itu terasa, ah, sakit mungkin. itu terdengar ketus dan dingin di telingaku.

"Cu-cukup gimana ya maksud lo? gue belum selesai, Gi" sanggahku berusaha tenang, tersenyum, tertawa kecil tapi faktanya bibirku gemetar, jantungku berdegup sangat kencang. perasaanku mulai tidak enak.

"gak usah dilanjutin. gue tau arah omongan lo, lo suka sama gue? mending gak usah, gue udah punya cewe" jawab Gian dingin. lalu pergi.

Jleb

Aku terdiam di tempat. ini baru 7 menitan tapi apa ini? 7 menit yang menyakitkan. barusan dia bilang apa? dia sudah punya cewe? pacar kah maksudnya. lalu dia pergi setelah mengatakan itu. APA INI!??? aku menangis. aku ingin menangissss. sakit saat aku harus mengingat 7 menit lalu. aku sesenggukan di cafe itu, aku tidak peduli orang memandang aneh padaku.

Kenapa aku merasa seperti di zolimi. bagaimana mungkin ini. kenapa Gian, saat aku mulai membuka hatiku untukmu tapi kamu justru menutup hatimu karena kamu sudah memiliki orang lain. kenapa kamu buat aku terjebak dalam situasi ini. sekarang aku tahu, setidaknya buaya lebih baik dari pada kucing air seperti kamu. meskipun keduanya sama-sama laknat!!

Aku berdiri, bergegas kembali ke basecamp komunitas mencari Vokan meski aku yakin ada Gian di sana. di basecamp aku langsung menarik lengan Vokan tanpa menoleh sedikitpun ke arah Gian yang tengah diskusi dengan Dian. mataku sembab, air mata masih mengalir. aku membawa Vokan ke ruangan yang tidak ada seorangpun disana. kembali aku menangis dalam dekapan Vokan, menangis sekencang-kencangnya meskipun tetap aku tahan.

"Kenapa sih!?" ulang Vokan kesal.

"sakit banget tau, Pok. pas tau kalo ternyata dia udah punya ceweee" ujarku sesenggukan.

"siapa?"

"coba lo bayangin deh, lo udah buka hati dan ngasih Lampu hijau ke dia malah lo udah bersiap utarain perasaan lo ke dia tapi dia malah dengan gampangnya bilang udah punya cewe! kan anjrit!!!!"

"iya, siapaa?? astaga!" Bukanya menjawab pertanyaan Vokan aku justru terus mengeluarkan unek-unek, rasa marah, kecewa, bahkan aku sempatnya membentak Vokan.

Aku mengangkat kepala, menghapus air mata yang tersisa lalu pergi begitu saja. setidaknya ada sedikit rasa lega dalam hatiku setelah semua amarah ini keluar.   Aku ingin pulang, bukan untuk menangis tapi untuk berkemas. aku ingin pulang ke rumah Nenek.

mataku tak sengaja menangkap sosok Gian dan aku ingin menghampirinya tapi aku urungkan. sebab, hatiku kembali sakit melihat sosok gadis tengah duduk di teras rumah Gian. kakinya menjuntai, bibirnya terus tersenyum. sebahagia itu dia?

Langkahku terhenti karena gadis itu memanggil, aku tidak akan mau menghampirinya biarkan dia yang datang padaku.

"dari mana? loh, kamu habis nangis? iih Kenapa, sayang?" tanyaku dengan nada khawatir. aku yakin pasti itu hanyalah pencitraan semata di depan Gian.

"Aushi, Ayo!" Gian menarik lengan Aushi dan membantu gadis itu naik ke atas motornya.

Aku menatap mereka berdua, mungkin mataku panas tapi itu tak sepanas hatiku. kembali aku melangkah masuk ke rumah.

"aku mau tinggal sama Nenek, Mah" ujarku terus melangkah menuju kamar.

"Hah? maksud kamu apa? Mama gangerti"

Aku berhenti. kesal rasanya jika aku harus mengulang ucapanku. aku membalikkan badan.

"Mama balikan aja sama Om Jeff, aku mau tinggal sama Nenek" ulangku lebih jelas.

"Nenek siapa?"

"YA NENEK BUTI LAH!" nadaku meninggi.

"Nenek kan udah gak ada, Lailuu. gimana sih!" ketus Mama.

Aku terdiam, kok bisa sih aku lupa kalo Nek Buti udah gak ada. mungkin ini karena aku terlampau sering dan apa-apa selalu pergi ke Nek Buti.

"aku mau ngekos" lontarkan lagi, datar. Mama semakin mengernyit.

"Kamu marah sama Mama? sampe gamau tinggal sama Mama??"

"eh?" aku melongo. logis juga sih, seolah-olah tingkahku seperti menghindari Mama padahal bukan.

"Gak, Mah. aku mau ngekos, mau mandiri, lagian kan gak lama lagi aku lulus sekolah terus kuliah, aku mau kuliah diluar, ujungnya ngekos juga kan?" terangku.

Karena Mama hanya diam aku berlalu pergi untuk berkemas.

_______________________________________

See You Next Page 👋
Salam Hangat
Lumut_Hijau

Dabus'd & You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang