" Ayo buruan!" teriakku sangat bersemangat.
Aku berlari lebih dulu menyusuri tiap gang demi gang. Aku berlari dan berlompat Ria. Sepertinya aku akan merelakan Om Jeff jadi calon ayahku dan Gian jadi calon sepupuku demi parkour. Ah, parkour adalah segalanya. aku yakin Mama tidak akan berkutik lagi setelah mendengar pilihan yang akan aku ajukan nanti saat dirumah. pilih tidak menikah dengan Om Jeff atau mengizinkan aku bermain parkour? selamat memilih Mama.
" Semangat banget lo, anjirr!" celetuk Vokan ngos-ngosan.
Aku tertawa puas. Jawaban akan Mama mengizinkan aku parkour lagi semakin membuat lari parkourku tambah semangat. ah aku tidak sabar mendengar itu.
"Keren juga ya basecamp kita, kecil tapii lokasinya luas, deket sama taman pohon cery tempat biasa kita nongkrong and latihan" lontarku senang melihat keseliling tempat.
"Besok kita mulai latihan, Gue sama Julian bakal jadi pimpinan di komunitas ini" jelas Gian sembari mengambil sapu. Aku mengernyit.
"Julian wakilnya? kenapa gak gue!? harusnya kan gue! gue mau jadi pemimpinnya disini! gue gak mau tau!" sewotku tidak terima.
"Apasih, Luk" desah Julian bingung bagaimana cara menjelaskan.
"lo diam!" Hardiku.
Julian terdiam. Matanya mulai memerah menatapku. mulutnya sudah bergerak dan akan segera menyembur karena kepenuhan unek-unek.
"CUKUP YA LUK! UDAH CUKUP GUE SABAR SELAMA INI NGADEPIN LO! SEMENJAK KOMPETENSI ITU LO JADI BERUBAH TAU GAK!"
"LO LEBIH AROGAN! LEBIH EGOIS! BAPERAN! MAUNYA MENANG SENDIRI, GAK MIKIRIN ORANG LAIN! LEBIH MERASA TINGGI, SOMBONG! LEBIH GAK TAU DIRI! DAN LO SELALU AJA BERTINGKAH KAYAK BOCAH TAU GAK! LO JUGA LEBIH ... AARGH! UDAHLAH, SUSAH NGOMONG SAMA CEWE LABIL!"
BRAK!
Pintu basecamp tertutup kasar. Aku terdiam di tempat. Kata-kata Julian menusuk jantungku, aku hilang kata-kata. Sakit, dan aku ingin menangis rasanya.
Gian mendatangiku. Dia menepuk pelan pundaku lalu tersenyum sangat sangat tipis, mungkin canggung dengan suasana.
"emangnya kenapa sih lo pengen jadi pemimpin atau wakil disini?" tanya Gian halus.
"gue gak nunjuk lo atau kami gak nunjuk lo itu bukan karena lo gak mampu tapi karena lo belum menyakinkan, posisi lo sekarang ini sedang kejepit" tambah Gian berusaha menjelaskan perlahan. Mataku menajam dan sinis menatap Gian di sebelahku.
"emangnya tante Kiki udah ngizinin lo parkour?"
"berisik ya lo! masalah Mama itu urusan gue!" ketusku menampis rangkulan Gian kasar dan pergi.
"lo bisa jadi pemimpin, Luk. asalkan lo udah bawa izin tante Kiki kesini! " teriak Gian. Aku berusaha tak acuh meski aku mendengarnya.
Aku berjalan penuh emosi bersama rasa sakit yang aku rasakan. Lagi, hatiku merasakan sakit meski beda perkara. Lagi, aku pulang hanya untuk menuangkan tangis di atas kasur. lagi, Mama marah aku membanting pintu, tapi kali ini Mama mendatangiku untuk mengomel, dan aku hanya diam tidak peduli.
"Mama puas!"
omelan Mama berhenti. Beliau menatapku bingung karena suara yang berusan aku lontarkan tidak masuk ke dalam omelannya.
"Mama lanjut nikah sama Om Jeff aku pergi, Mah. aku ingin mati diluar sana tanpa ada Mama. Mama mau itu?" lanjutku sangat tajam. Mama semakin kebingungan.
"lho, kamu itu kenapa, Luk!?"
"aku juga pengen tegas, Mah. emang Mama aja yang bisa tegas untuk dapetin kehendak Mama"
"Maksud kamu apasi?"
"Izinin aku Park-"
"ENGGAK!" potong Mama cepat dan tegas karena langsung paham kemana arah ucapanku selanjutnya.
"Oh gitu!? Ok. Mama gak boleh nikah sama Om Jeff!"
Aku berkacak pinggang menantang mata Mama di depanku. Aku tahu apa yang aku lakukan akan semakin membuat Mama murka tapi Mama tahan.
"gak bisa! Mama sama Om Jeff udah persiapan dan udah bagi undangan, tanggalnya juga udah deket!"
Mama menarik paksa turun lenganku dari pinggang. Sebab, Mama tidak suka melihat aku begitu.
"Ya udah batalin" jawabku tak acuh.
Kini aku beralih melipat tangan di dada dan menyampingkan Mama. Mama semakin menahan emosinya untuk tidak meluap.
"enak ya kamu ngomong. Pernikahan Mama akan tetap berlanjut, dan kamu! gak Mama kasih izin parkour, paham!?" putus Mama.
Aku ingin emosi aku tidak tahan, mataku sinis dan tajam menatap Mama, tanganku mengepal berusaha untuk tidak terkendali.
"Ok. kalo itu keputusan Mama. Aku pergi! Bye!"
tidak sedikitpun aku gubris teriakan Mama menyuruhku kembali. Aku sudah tersulut emosi, hatiku sudah terlanjur semakin sakit dan terluka. Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku.
Semua fasilitas aku tinggalkan di rumah termasuk handphone, fasilitas yang aku bawa hanya pakaian yang aku kenakan saat ini dan sandal. selain dari itu, aku tinggalkan dirumah karena itu dari Mama.
Aku tidak tahu harus kemana yang aku tahu saat ini adalah pergi meninggalkan Mama. biarkan aku mati di jalanan tanpa siapa dan apa-apa.
tujuan pertamaku adalah taman pohon ceri. Aku memanjat pohon ceri dan berkelana disana seperti kuntilanak, aku melihat kesibukan mereka para teman-temanku di basecamp, mempersiapkan semuanya. Aku rasa mereka melupakan sesuatu, mereka menyiapkan semuanya dengan matang tapi mereka melupakan hal yang paling penting yaitu, nama, nama untuk komunitas.
Air mata ini terus saja mengalir padahal aku sudah berusaha menghentikannya. Apa terlalu banyak luka dalam hatiku hingga air matapun sulit untuk berhenti. Aku tak ingin bunuh diri karena aku benci hal itu, tapi apa yang aku lakukan ini termasuk bunuh diri? Ah aku tak tau aku hanya mengikuti naluriku saja.
_________________________________See You Next Page 👋
Hai hai pantengin terus yaa, ceritanya semakin mendekati ending nih, seneng deh🤭Follow, vote dan komen ya guys, aku tunggu loh:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dabus'd & You (END)
Teen FictionCerita Ke-lima Ini tentang 6 manusia tengil yang masih duduk di bangku SMA. Lailu, Dian, Vokan, Denim, Julian dan Gian. Lailu adalah tipe cewe yang bukan feminim bukan juga Tomboy, dia sedikit pembangkang dan keras kepala bukan tak jarang dia berte...