FALLIN'

225 47 11
                                    

"Mereka berdua ga ngomongin apapun selain kerja sama soal project baru novel Anggita. Ga menyinggung sedikit pun soal kasus itu." Ucap Daffa sambil menekan-nekan pulpennya di atas buku catatannya.

Ia menundukkan kepalanya sementara tangannya mengepal mendengar suara berat seorang pria yang lebih tua darinya yang sedang berbicara di seberang telepon.

"Iya, saya mengerti..."

Daffa menghela napas panjang kemudian menaruh ponselnya di atas meja. Tangannya kembali berkeringat dan kakinya bergerak secara acak.

Sayup-sayup terdengar suara musik dari luar ruangan itu.

Ia beranjak dari duduknya, mematikan lampu meja yang merupakan satu-satunya penerangan di ruangan sempit itu.

Langkahnya berjalan memanjat tangga kayu yang memanjang lurus ke atas. Mendorong sebuah kayu yang menjadi penutup antara ruangan tersebut dengan kamarnya.

Setelah menutup papan kayu itu kembali, Daffa menggeser karpet kamarnya untuk menutupi tempat tersebut.

Jam di kamarnya sudah menunjukkan pukul 07:00 pagi. Ia merebahkan dirinya di atas tempat tidur sambil menghela napas panjang.

Tak sampai 5 menit berbaring, Daffa kembali beranjak dan berjalan keluar dari kamarnya.

Ia melangkahkan kakinya menuju kamar Devano yang pagi ini sudah kosong lebih cepat.

Karena di hari liburnya ini, Daffa sangat hapal kalau kakaknya itu akan mengawali paginya untuk berolahraga lebih lama di luar.

Ketika ia sampai di dalam kamar Devano, ia berjalan menghampiri meja kecil milik kakaknya itu yang terlihat sangat rapi dan teratur.

Ia segera meraih laci meja paling bawah, kemudian mengeluarkan sebuah map cokelat yang berada di tengah-tengah tumpukan buku-buku resep milik Devano.

Meskipun harus berjongkok, Daffa membuka map cokelat tersebut. Ia sudah menyiapkan diri bila ia melihat foto Nissabila lagi didalamnya.

Dan ketika ia mengeluarkan sebagian isi dari map tersebut, terlihatlah foto Nissabila dan beberapa lembar kertas HVS yang sudah penuh dengan tulisan-tulisan tangan Devano.

Daffa menahan napasnya. Ia mengambil map cokelat tersebut dari laci itu dan membawanya pergi bersamanya keluar dari kamar.

***

Nina tercengang melihat Devano yang sudah datang sepagi ini ke apartemennya dan Gita. Apalagi sambil memegang buket bunga mawar hitam imitasi yang jelas-jelas pasti bukan sengaja dibawa oleh seorang Devano.

"Ini bukan saya... Begitu sampe disini saya nemu ini tergeletak di sini." Ucap Devano mencoba menjelaskan kepada Nina yang menatapnya tak percaya.

Nina menganggukkan kepalanya, kemudian meraih buket bunga tersebut. Kemudian ia melirik sebuah kartu pesan yang ada di sana.

Wish you would call me. -Dennis-

"Kamu kenal Dennis?" Tanya Devano.

"Dia cowok yang kemaren nyamperin Gita. Ga jelas sih... Tapi kayanya dia semacam penggemar rahasia Gita. Dan dia sedikit aneh." Jawab Nina sambil mempersilakan Devano untuk masuk.

Ia menaruh buket bunga itu ke dalam tempat sampah berikut dengan kartu ucapannya.

"Kok dibuang, Nin?"

"Aduh, percuma Dev. Gita nanti ngamuk kalau nerima gituan lagi. Bunga yang kemaren dari si Dennis aja langsung dia buang." Jawab Nina.

Sementara Devano hanya mengangguk paham walaupun sebenarnya ia memikirkan kemungkinan lain bahwa laki-laki itu ada kaitannya dengan orang yang meneror Gita.

LOVE ME, HEAL METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang