PERASAAN YANG BIAS

224 45 0
                                    

Taman kota yang terletak di sekitar Tugu Monas kota Jakarta masih digandrungi anak-anak muda yang bermain dan berolahraga di sabtu pagi ini.

Beberapa dari mereka ada yang jogging, berjalan santai, berkumpul di atas rumput sambil memakan jajanan, dan yang hanya duduk di kursi taman dengan mata tertutup dan dahi berdarah.

Sosok perempuan itulah yang menarik perhatian orang-orang lain. Gita yang saat itu memakai setelan blezer warna hitam dengan kancing bulat berwarna gold dan rok rample hitam selutut itu beberapa kali di sambangi orang-orang yang berlalu lalang karena kondiri dahinya yang berdarah-darah.

"Mbak... Mbak ga apa-apa? Apa perlu saya bantu?"

Begitulah orang-orang yang bertanya padanya. Namun jangankan menjawab, membuka mata saja Gita tak mau. Sehingga orang-orang itu pergi dengan kebingungan.

Bahkan ada beberapa di antara mereka yang menaruh jarinya di dekat hidung Gita untuk memeriksa apakah gadis ini masih bernapas.

Setelah mengetahui kalau perempuan ini masih bernapas dengan baik, orang itu kemudian kembali pergi berusaha tidak peduli.

Devano dan Nina segera menghampiri Gita setelah mereka memarkirkan motor di sekitar mobil Gita.

Dengan panik, Nina duduk di sebelah Gita sambil mengobrak-abrik tasnya sendiri.

"Ngapain merem? Lagi meditasi?" Tanya Devano yang berdiri di hadapan Gita.

Perlahan, Gita membuka matanya. Dan anehnya setelah melihat Devano berdiri di hadapannya, Gita tersenyum.

"Kenapa-"

"Jangan bergerak. Disini aja." Ucap Gita menahan Devano yang bergerak untuk menjauh karena aneh melihat Gita yang tiba-tiba tersenyum.

Bahkan Nina yang sedang sibuk mencari kotak obat pun sempat tercengang melihat Gita.

"Mataharinya... Bikin silau. Makanya saya tutup mata. Dan karena kamu udah berdiri di sini, saya ga perlu tutup mata lagi." Jawab Gita dengan santai.

Sementara Devano refleks menoleh ke belakang ketika ia menyadari maksud Gita adalah ia sebagai penghalang sinar matahari untuknya.

"Kalau gitu kenapa kamu ga pindah aja duduknya?" Protes Devano kesal dan duduk di sebelah kanan Gita.

"Males." Jawab Gita kembali memejamkan matanya.

"Astaga..." Gumam Devano tak percaya ada makhluk seaneh Gita dan ia lebih tak percaya saat ini karena mengenal makhluk itu.

"Sini-sini... Ya ampun, Git. Lo tuh kebiasaan. Kepala lo diapain bisa sampe begini sih?" Tanya Nina sambil membersihkan darah yang ada di kening Gita dengan kapas alkohol.

"Ditendang." Jawab Gita yang diam saja saat Nina mengobatinya. Kemudian tangannya mengepal keras dengan ekspresi wajah kesal kembali muncul di wajah imutnya. "Sialan! Sepatu bututnya nendang kepala gue. Keliatan dari kulit padahal bahan sintetis. Dari baunya, gue yakin dia baru beli sepatu itu tanpa dicuci dulu. Kurang ajar!" Gerutu Gita marah-marah entah pada siapa.

Namun hal itu malah membuat Devano tak kuat lagi menahan tawanya. Ia sendiri baru menyadari bagaimana bisa paginya yang biasanya membosankan, hari ini malah diawali dengan peristiwa se-absurd ini.

"Terus gimana? Tadi kalian berhasil ngejar dia?" Tanya Gita dengan antusias menatap Devano penuh harap.

"Ga. Dia keburu kabur." Jawab Devano membuat Nina yang semula sudah tegang, kini bisa bernapas dengan lega.

"Ck... Ga berguna." Gumam Gita kembali menoleh ke depan dan menutup matanya lagi.

"Ga usah lebay, deh. Matahari tuh bagus, Git. Kamu kaya ga pernah kena matahari pagi aja." Sindir Devano.

LOVE ME, HEAL METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang