TEMPAT PENYEMBUH LUKA

232 35 4
                                    

Baru saja Gita memasuki rumah Nina, ia sudah dihampiri oleh orang-orang yang berada di rumah tersebut.

Baik Niken, Ibu Widya, dan kedua adik laki-laki Niken yang masih berusia 12 dan 10 tahun.

"Nak Gita ayo, makan dulu..." Ucap Ibu Widya yang segera berjalan ke dapur untuk menyiapkan makan malam.

"Mbak, ini lho Dito sudah beli layangannya. Besok jadi toh main layangan?" Tanya Arul yang berusia 12 tahun

"Iya harus jadi lho mbak. Katanya jago main layangan."  Sahut adiknya yang bernama Dito itu dengan antusias.

Belum sempat Gita menyahut, Niken sudah menghampirinya sambil membawa buku catatannya.

"Mbak Gita, tadi ada telepon dari tim editor. Dia mau ngasih tahu beberapa bagian cerita yang perlu di-revisi. Saya udah kirim ke email Mbak Gita." Ucap Niken melaporkan.

Belum lagi Gita menyahut, ibu Widya sudah kembali dari dapur dan kembali memanggilnya.

"Nak Gita, ayo makan dulu... Ini lho ada ayam goreng..."

Gita menghela napas panjang, ia meraih layangan yang disodorkan oleh Dito, mengambil buku catatan Niken, kemudian berjalan menuju meja makan sederhana itu dan duduk di atas karpet untuk makan.

"Besok sore kita main layangan. Kalian sekolah dulu kan? Terus Niken, abis ini saya akan liat email dari kamu, kasih tahu aja deadline-nya. Sekarang, saya mau makan dulu. Oke?" Sahut Gita akhirnya menaruh semua barang-barang itu di sebelahnya dan mulai mengambil makanannya.

Dalam hati, ia sebenarnya masih kaget dengan kondisi keramaian keluarga seperti ini.

Tak terbayang bagaimana Nina hidup selama ini dengan keramaian seperti ini setiap hari. Mungkin menyenangkan kadang-kadang. Tapi bagi Gita yang sudah terbiasa sendirian, hal ini masih terasa aneh.

***

"Begini lho, pak... Ada rumor yang beredar. Katanya Gita sedang ada di desa ini, lho... Di rumah Almarhumah Nina... Betul itu, pak?" Tanya laki-laki setengah baya bertubuh kurus yang sebelumnya memanggil Pak Darso dan menghampirinya.

Sementara Devano berjalan mengikuti mereka pelan-pelan dari belakang. Ia sudah terlanjur ingin mengetahui percakapan mereka saat ini. Apalagi melihat reaksi Darso yang terlihat muram saat itu juga.

"Saya ga tahu dan ga peduli. Jangan tanyakan pada saya." Jawab Darso dengan nada suara dingin.

"Lho, jangan begitu lho pak... Katanya Gita itu sempat diculik juga. Memang banyak sekali ya musuhnya? Sebenarnya apa yang dilakuin Gita selama di Jakarta lho, pak? Dengar-dengar Nina juga ikut jadi korban... Jangan-jangan benar Gita di Jakarta itu, jadi simpenan orang pak?"

"Apa maksud kamu?"

"Jangan marah dulu lho, pak. Maksud saya, apa ga sebaiknya Gita dibawa saja pulang dan dinikahkan. Dari pada jadi seperti ini." Ucap laki-laki itu yang diabaikan oleh Darso.

Saat itu Darso segera berbelok menuju ke rumahnya. Namun laki-laki tadi kembali memanggilnya.

"Pak... Saya serius lho, Gita ga mungkin punya banyak uang sementara dia SMA saja ga lulus-"

"Dia penulis." Sahut Devano menghalangi laki-laki itu yang akan kembali menghampiri Darso.

"Siapa kamu? Jangan sok tahu." Ucap laki-laki setengah baya itu kepada Devano. Pertanyaan yang sebenarnya ingin Darso tanyakan juga saat ini.

"Saya minta maaf kalau sikap saya kurang sopan. Tapi, sebaiknya kalau bapak tidak tahu kebenarannya tolong jangan menyebarkan kebohongan. Kalau bapak berpikir demikian, simpan saja pikiran itu pada diri sendiri." Ucap Devano dengan tegas menatap laki-laki itu.

LOVE ME, HEAL METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang