BAGIAN YANG TELAH DITEMUKAN

229 36 12
                                    

Jam dinding di ruang tengah apartemen baru Gita menunjukkan pukul 07:30 Malam.

Ia tersenyum miring ketika memperhatikan Niken yang sedang mendapatkan telepon dari Fahri mengenai penerimaan naskah yang telah ia kirim tadi siang.

Secepat itu? Tentu Gita sudah mengetahui hal ini bahkan sejak ia baru keluar dari ruangan Fahri tadi siang.

"Soal kontrak? Baik pak, akan saya bicarakan langsung dengan mbak Gita. Iya... Baik pak... Iya, terimakasih ya pak..." Jawab Niken setelah selesai melakukan percakapan cukup panjang dengan Fahri bahkan hingga mencatatnya di bukunya.

Setelah itu, ia berjalan menghampiri Gita yang sedang berdiri di atas tangga sambil memperhatikannya.

"Mbak Gita..." Panggil Niken dengan antusias menghampiri Gita.

Sebenarnya, Gita sudah tahu apa yang akan dilaporkan Niken. Namun ia sengaja membiarkan gadis itu untuk mengatakan semuanya.

"Tadi Pak Fahri telepon, naskah mbak sudah masuk ke tim editor. Perjanjian kontraknya kurang lebih sama dengan isi perjanjian sebelumnya, kalau mbak berminat, besok bisa langsung ke kantor... Terus..." Ucap Niken kemudian melirik buku catatannya lagi.

"Terus nanti katanya, sekalian mau membicarakan soal meet & greet mbak Gita pas launching buku. Katanya... Dia akan bikin kontrak yang terpisah... Dan Mbak Gita bisa ke kantor besok sekitar jam 01:00 siang atau jam 03:00 sore." Lanjut Niken lagi.

Gita menganggukkan kepalanya pelan. Kemudian ia melirik ponselnya yang berbunyi tanda panggilan masuk dari Devano.

"Niken, besok pagi kamu dateng ke bank. Urus pembuatan rekening kamu karena nanti kamu yang akan urus semua uang saya dari hasil royalti itu. Oke?" Tanya Gita.

"Tapi mbak... Saya... Itu kan uang mbak..."

"Niken, saya ga terlalu suka ngurus yang begitu. Kamu kan asisten saya." Jawab Gita kemudian berjalan menuju kamarnya untuk mengangkat panggilan telepon dari Devano.

"Wah, tumben orang sibuk bisa nelepon saya?" Sindir Gita setelah ia mengangkat panggilan telepon dari Devano dan berjalan ke arah balkon kamar apartemennya.

"Hari ini ada anak panti yang jago gambar dan... Punya imajinasi untuk bercerita. Terus tiba-tiba saya inget kamu." Jawab Devano dengan santai.

"Oh..." Jawab Gita singkat. Ia tak berekspektasi Devano hanya akan mengatakan itu.

Begitu juga dengan Devano yang cukup kesal karena respon singkat dari Gita.

"Kamu ga paham maksud saya?" Tanya Devano.

"Apa? Kamu mau minta saya ngajarin anak itu gitu?" Tanya Gita dengan suara pelan.

"Udahlah... Saya masih ada urusan disini."

"Dev..." Panggil Gita sebelum Devano mengakhiri teleponnya.

"Apa? Bukannya kamu sibuk nulis?"

"Kamu baik-baik aja kan? Sidang putusan Daffa bentar lagi. Kamu ga mau jenguk dia?" Tanya Gita sambil memeluk dirinya sendiri menikmati angin malam yang menerpa wajahnya.

"Daffa nelepon saya tadi siang. Dia bilang jangan jenguk dia lagi apalagi ibu. Atau saya akan liat mayat dia nanti. Saya khawatir... Saya emang ga percaya dia akan bener-bener bunuh diri. Tapi kamu tahu selama ini aja ga kenal sama sekali sama diri Daffa yang sebenernya." Jawab Devano pelan.

Sementara Gita hanya diam mendengarkan. Sejujurnya ia pun cukup prihatin dengan kondisi Daffa.

"Harusnya saya ke Jakarta dan jenguk Daffa. Tapi ibu bener-bener ga mau saya tinggal. Dan saya juga khawatir kalau Daffa bener-bener mau bunuh diri." Jawab Devano.

LOVE ME, HEAL METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang