SEMESTINYA

298 41 11
                                    

Satu bulan berjalan dengan cepat bagi Gita, hingga ia tak menyadari bahwa novel tulisannya sudah terbit.

Persiapan meet & greet yang semula hanya dialokasikan kecil-kecilan di toko buku mall setempat, berubah menjadi meet & greet besar-besaran.

Para penggemar tulisan fiksinya membeludak hingga tim penyelenggara harus menyewa salah satu aula sebuah hotel di Jakarta untuk acara tersebut.

Setidaknya ada 100 orang lebih yang datang ke acara tersebut. Belum lagi perjalanan Gita yang harus melakukan meet & greet juga di 5 kota besar di Indonesia.

Belum selesai di sana, bahkan beberapa sutradara mulai menawarkannya ikut andil dalam film yang dibuat dari ceritanya.

Namun untuk yang itu, Gita terpaksa harus menolaknya dengan alasan bahwa ia tak pandai ber-akting.

Walaupun sempat kewalahan, Niken tetap bisa menjalankan tugasnya. Apalagi sekarang, Gita juga menggaet seorang asisten pribadi bernama Marrisa yang bukan hanya akan membantunya, tapi juga Nina.

Dulu, salah satu alasan Gita tak ingin menunjukkan identitasnya adalah, karena ia malas harus duduk berjam-j am, menandatangani novelnya sambil tersenyum kepada orang-orang asing ini.

Tapi sekarang, pikirannya berubah total memandang kondisi ini.

Benar kata Nina, semua orang yang datang ke acaranya ini bukanlah orang asing. Mereka adalah orang-orang yang menyukai tulisannya, dan juga dirinya.

"Mbak... Ada tawaran untuk tampil di salah talk show lusa... Terus sutradara yang namanya Hartono, dia mau nawarin kerja sama. Tadi Pak Fahri juga sempet ngundang makan malam buat perayaan..." Ucap Niken mengikuti langkah Gita yang berjalan menaiki tangga sambil melepas sepatu hak-nya.

"Niken, nanti aja deh. Si Gita kayanya mabok perjalanan tuh." Sahut Marrisa sambil menaruh koper milik Gita di dekat sofa sementara ia sendiri langsung menjatuhkan dirinya di atas sofa sambil meluruskan kakinya.

Niken menganggukkan kepalanya kemudian berjalan ke dapur untuk mengambil minum.

"Niken..." Panggil Gita dari lantai atas sehingga Niken buru-buru menaruh gelasnya di atas meja dan berjalan ke depan, ia melihat Gita berdiri di atas tangga sedang menyender ke dinding dengan lemas.

"Bilangin ke Fahri saya belum ada project baru. Sementara ini saya mau fokus nulis skenario dulu."

"Tapi mbak... Tapi Pak Fahri-"

"Well, penggemarnya Gita juga sekarang lebih suka nonton film dari script yang ditulis Gita." Sahut Marrisa.

"Tapi banyak juga penggemarnya Mbak Gita yang suka baca novelnya." Sahut Niken tak mau kalah.

"Ya ampun, intinya saya ga akan berenti nulis novel. Cuma, saya harus selesain kerjaan saya dulu yang lain. Nanti kalau udah ada outline baru, saya kabarin ke si Fahri." Jawab Gita kemudian masuk ke dalam kamarnya.

Ia merebahkan dirinya ke atas tempat tidur kemudian menghela napas panjang.

Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul 04:00 sore. Namun rasanya ia sudah sangat mengantuk.

Baru saja Gita akan memejamkan matanya, tiba-tiba pintu kamarnya kembali diketuk oleh Niken.

"Mbak... Mbak Gita..."

Dalam hati, Gita mengumpat. Entah karena adik kakak, atau memang semua manager begini. Tapi Nina dan Niken sama-sama selalu mengganggu waktu istirahatnya.

"Mbak, ada kurir yang ngirim bunga."

"Taro aja di meja." Sahut Gita malas.

"Tapi yang ini dari Kak Devano, mbak..." Ucap Niken akhirnya berhasil membuat Gita segera beranjak dari tempat tidurnya.

LOVE ME, HEAL METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang