PEPATAH SELALU BENAR

196 38 9
                                    

Devano menatap layar ponselnya, dimana ia sudah mendapatkan uang kiriman dari Gita.

Entah kenapa hal ini benar-benar membuatnya kesal pada Gita. Ia pikir selama ini gadis itu sudah mulai memiliki sedikit demi sedikit rasa empati. Tapi nyatanya, Gita memang hanyalah perempuan keras kepala yang egois dan sulit dimengerti.

"Kak..." Panggil Daffa setelah membuka pintu kamar Devano.

Melihat adiknya yang membawa tas besar di punggungnya, Devano segera beranjak dari tempat duduknya menghampiri Daffa.

"Lo mau kemana?" Tanya Devano heran.

"Gue mau izin pergi naik gunung. Mau liburan aja beberapa hari, sekalian nyari-nyari info yang bisa diberitain." Jawab Daffa dengan antusias.

"Sama siapa aja?"

"Gue berangkat sih sendiri. Tapi nanti gabung sama anak-anak yang juga naik gunung di sana."

"Kalau gitu gue ikut deh. Tapi gue izin cuti dulu-"

"Ga... Ga perlu kak. Gue tahu reputasi lo kan bagus banget di resto..."

"Ga usah mulai, Fa.." Sahut Devano dengan kesal.

"Tapi serius Kak. Gue mau lakuin perjalanan sendiri. Paling cuma 3-4 harian aja." Jawab Daffa mencoba membujuk kakaknya.

Akhirnya Devano menganggukkan kepalanya. Mungkin memang seharusnya ia membebaskan adiknya itu sekali-sekali.

"Tapi handphone aktif terus, paham?"

"Siap!" Sahut Daffa tersenyum lebar. "Jangan bawa cewek ke rumah, oke?" Ledek Daffa sebelum benar-benar meninggalkan Devano yang hampir menendang bokongnya.

Begitu Daffa sampai di luar rumah, senyumnya menghilang. Ia menghampiri motornya dengan wajah murung.

Sebelum melajukan motornya, Daffa melirik kembali ponselnya sebentar. Kemudian ia benar-benar melajukan motornya meninggalkan rumah.

***

Pukul 22:30 PM, Gita masih duduk di sofa ruang tengah sambil menyilangkan kakinya dan melipat kedua tangannya di depan dada.

Sudah cukup berjam-jam ia berusaha tenang dengan hanya diam ditengah keheningan malam memikirkan apakah Nina benar-benar pergi? Lalu kemana perempuan itu akan pergi? Kembali ke kampung?

Sekarang saya tahu kenapa kamu selalu ga punya siapa-siapa.

Gita mendengus kesal sambil beranjak dari duduknya ketika kalimat Devano kemnali membekas di benaknya.

"Dia lagi ngutuk gue? Kenapa omongannya selalu bener? Sial." Gumam Gita tak percaya.

Di tengah kegelisahan itu, matanya menangkap sesuatu yang menonjol dari tempat sampah ruang tengahnya.

Sebuah buket bunga berwarna hitam yang sangat familiar baginya.
Gita menghampiri tempat sampah tersebut dan meraih buket bunga yang sudah dibuang itu.

Merasa yakin akan ada kertas lagi dari buket bunga itu, akhirnya ia membuka tempat sampahnya dan menumpahkan semua isinya ke lantai.

Dengan gerakan acak, Gita memilih kertas ucapan yang sudah koyak itu.

"Jackpot..." Gumamnya ketika melihat pesan dari Dennis dan juga nomor telepon yang disisipkan pria muda itu.

Sebenarnya Gita sangat malas menghubungi pria maniak ini, namun entah kenapa ia harus melakukannya.

Demi keselamatan dirinya sendiri, Gita harus membuat semuanya jelas.

"Hallo, Gita..."

Begitu panggilan teleponnya diangkat, Gita lagi-lagi dibuat terdiam mana kala Dennis langsung mengetahui kalau nomor ini adalah miliknya.

LOVE ME, HEAL METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang