35

1.4K 66 6
                                    

Steven turun dari mobil, ia menyapa teman-temannya. Namun pria itu tidak menemukan keberadaan Ryan. "Apa kau melihat Ryan?" tanyanya pada Jack.

"Dia sedang memeriksa mobil Peter," jawab Jack.

"Peter akan balapan malam ini?"

"Iya, apa semuanya baik-baik saja? Kenapa kau mencari Ryan?"

"Hanya masalah wanita" ujar Steven pelan. Ia mendekati mobil Peter. Ryan sedang melakukan pekerjaanya dan wajah pria itu terlihat murung.

"Apa kau masih sibuk, Dude?"

"Tidak, aku sudah selesai. Kau mau aku memeriksa mobilmu juga?" tanya Ryan lalu meneguk air mineralnya.

"Aku tidak datang untuk itu, aku ingin membicarakan tentang Minzi."

Ryan terdiam sesaat. "Minzi menceritakannya padamu." Ryan terlihat tidak suka.

"Kita tidak sedekat itu untuk saling bercerita. Zamora meminta bantuanku. Sebenarnya ada apa? Aku tahu kau mencintai Minzi." Steven berusaha membuat Ryan memberitahunya. Walaupun ia tahu cukup sulit untuk melakukan hal itu.

Ryan tidak mengatakan apapun, ia hanya memandangi mobil Peter sambil memikirkan sesuatu.

"Jika kau tidak bisa membe,-"

"Dia bisa mendapatkan pria yang lebih baik dari aku," sela Ryan dengan cepat. "Dia berasal dari keluarga yang sangat kaya, sedangkan aku. Aku hanya orang beruntung yang bertemu denganmu dan kau menjadikan aku bagian dari tim balapmu. Aku bukan apa-apa dibandingkan dirinya."

Jujur, Steven merasa kecewa mengetahui bahwa inilah alasan Ryan berbohong pada Minzi. "Come on, Dude. Minzi mencintaimu dan kau juga mencintainya, cinta tidak dilihat dari status sosial seseorang. Jangan membuat aku marah. Temuilah Minzi, aku dengar dia akan kembali ke New york hari ini."

"Apa?! Kenapa sangat mendadak?"

"Aku tidak tahu, lebih baik kau tanyakan sendiri padanya atau menyesal untuk selamanya." Steven meninggalkan Ryan, kemudian tersenyum tipis.

****

"Apa yang Ryan katakan?" Zamora menatap Steven lekat, menunggu jawaban kekasihnya itu dengan tidak sabar.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jawab Steven santai.

Zamora mengerutkan dahi. "Kenapa kau bisa sesantai ini? Minzi terlihat sangat sedih, Steven. Tolong bantulah dia."

"Percaya saja padaku." Steven mengecup pipi Zamora. Sementara gadis itu mendorong tubuh Steven.

"Apa yang sebenarnya kau rencanakan?"

Steven menghela napas, ia menarik tangan Zamora kemudian membuka pintu mobilnya. "Masuklah."

"Kita akan pergi kemana?"

"Ke bandara."

"Untuk apa pergi ke bandara?"

"Berhenti bertanya atau aku akan mencium bibirmu hingga bengkak."

"Baiklah," ucap Zamora pada akhirnya.

"Good girl." Steven mengelus kepala Zamora, kemudian menghidupkan mesin mobilnya dan mobil itu pun melaju dengan cepat.

Zamora menoleh ke arah Steven yang fokus menyetir, ia tidak bisa menebak apa yang sedang Steven rencanakan.

"Aku sangat penasaran Steven. Sebenarnya apa rencanamu?"

Steven terkekeh pelan lantas menunjuk pipinya. "Cium aku."

Tanpa basa-basi Zamora segera mencium pipi kekasih tampannya itu. "Sudah."

"Cium lagi sampai aku puas."

"Sejak kapan kau menjadi menyebalkan seperti ini?" Meski tampak kesal Zamora tetap mencium pipi Steven berkali-kali.

"Kita sudah sampai."

"Sekarang beritahu aku," mohon Zamora.

Steven menunjuk ke arah Minzi yang sedang duduk sendirian.

"Untuk apa kita di sini, Steven?"

"Lihat saja," balas Steven pelan. Ia tersenyum lebar ketika melihat Ryan berlari menghampiri Minzi. Sementara Minzi terkejut dengan kehadiran Ryan di sana.

"Sedang apa kau di sini?"

Ryan menggengam kedua tangan Minzi. "Tolong jangan pergi. Aku memang bodoh dan pengecut, aku seharusnya tidak berpikir dangkal seperti kemarin. Aku juga mencintaimu, Minzi."

Minzi tidak berekasi apapun.

"Katakan sesuatu, Minzi."

"Siapa yang pergi? Aku tidak mengerti maksudmu?"

"Bukankah kau akan kembali ke New York hari ini?"

"Minzi," panggil wanita paruh baya sembari menepuk bahu putrinya.

"Mom." Minzi memeluk Ibunya dengan erat. "I miss you so much."

"I miss you too." Lidia menatap Ryan yang tersenyum canggung kepadanya. "Dia siapa, Nak?"

"Mom, ini Ryan. Dia pacarku. Ryan, ini ibuku dia baru saja datang dari New York dan akan tinggal di sini untuk beberapa bulan."

"Pacar?" Lidia mendekati Ryan. "Senang bertemu denganmu, Ryan."

Ryan tampak sangat kebingungan, namun kebingungannya tidak berlangsung lama ketika mendapatkan pesan dari Steven.

Calon mertuamu terlihat menyukaimu, Dude. Maaf aku sudah berbohong.

Fuck.

"Rencanaku berhasil 'kan?" tanya Steven kepada Zamora.

Zamora mengangguk, lalu mengecup bibir Steven lama. "Kau luar biasa."

****

Albert berdiri di balkon kamarnya, Millen menghampiri sang suami sembari membawa teh dan meletakkannya di atas meja.

"Kau sedang memikirkan apa?"

"Tidak ada," jawab Albert datar.

"Kau merindukan Steven, 'kan?

Albert menoleh pada Millen, ia mengambil tehnya dan menyeruput teh yang masih hangat itu. "Tidak."

"Beberapa hari lalu dia menanyakan kabarmu, dia merindukanmu meski kau selalu bersikap sangat keras kepadanya."

"Bagaimana dengan Ellard? Apa dia sudah tahu jika wanita itu hamil?" Albert mengalihkan topik pembicaraan.

"Sudah, tapi aku tetap melarangnya menemui wanita itu."

"Kenapa? Itu pasti sangat menyiksanya, dia mencintai Kinta dan kita harus segera menikahkan mereka sebelum perut wanita itu membesar."

Millen menatap Albert begitu tajam. "Menyiksanya? Bagaimana dengan Steven? Dia juga tersiksa. Apa kau pernah mempedulikan perasaan Steven? Wanita yang ia cintai berselingkuh dengan kakaknya, dia di usir dari rumah, dan kau bahkan tidak pernah menghubunginya. Dia anak kita, bukan hanya anakku saja, Albert! Aku benar-benar sudah tidak tahan denganmu. Jika kau terus bersikap seperti ini maka aku sudah siap berpisah denganmu."

Albert terkejut mendengar ucapan Millen. Selama ini mereka sering bertengkar, namun Millen tidak pernah membicarakan tentang perpisahan. "berpisah? Kau sudah gila?"

"Temui Steven besok," pinta Millen.

"Untuk apa?"

"Untuk hubungan kita. Jika kau tidak ingin berpisah denganku maka temui dia besok. Aku yakin kau tahu dimana dia tinggal."

****





STEMORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang