25

1.7K 67 1
                                    

"Kenapa kau membawa aku kesini? Bukankah kau akan mengantar aku pulang," ujar Zamora bingung. Seharusnya Steven mengantarnya pulang setelah mereka mengantar semua pesanan bunga.

Steven keluar dari dalam mobil, ia tidak menggubris ucapan Zamora.

"Steven, aku sedang berbicara padamu." Zamora mencengkal tangan pria itu.

"Aku tahu," balas Steven lalu kembali melanjutkan langkahnya.

"Lalu kenapa kau tidak menjawab pertanyaan ku? Kenapa kau membawa aku ke apartemen mu? Kau seharusnya mengantar aku pulang," cerca Zamora.

"Aku lapar dan aku ingin kau membuatkan sesuatu untuk ku, jadi aku membawa mu kesini." Steven tersenyum, sedangkan Zamora menganga mendengar ucapan pria itu.

"Aku bukan pembantu mu, kau tidak bisa seperti ini," sahut Zamora tidak terima.

"Kau memang bukan pembantu ku, tapi setidaknya balas perbuatan baikku padamu. Aku sudah menjadi supirmu hari ini." Steven sengaja melakukan ini, ia merasa perlu membalas tingkah Zamora yang begitu menyebalkan hari ini.

"Dengar! Aku tidak pernah meminta mu menjadi supirku. Kau yang seenaknya memasukkan bunga-bunga pesanan itu ke dalam mobil mu," geram Zamora.

"Tapi kau tidak menolaknya. Aku tidak ingin berdebat."

Steven sudah membuka pintu apartemennya, namun Zamora tak kunjung masuk ke dalam. "Kau tidak masuk?" tanyanya.

Zamora melipat kedua tangannya di depan dada. Ia tidak terima diperlakukan seperti ini. Ia tidak tahu jika Steven bisa mengesalkan seperti sekarang. Gadis itu menatap Steven sinis sebelum masuk ke dalam.

Steven diam-diam tersenyum melihat wajah kesal Zamora padanya. Entah kenapa itu terlihat lucu baginya. Pria itu merebahkan tubuhnya di sofa dan tepat saat itu bel berbunyi. "Zamora, tolong bukakan pintunya," ucap Steven lalu memejamkan matanya, namun saat Zamora berbalik untuk membuka pintu. Pria itu membuka matanya, ia tersenyum senang.

"Tunggu saja pembalasan ku," ucap Zamora begitu kesal. Ia membuka pintu dan memperhatikan penampilan wanita yang berada di hadapanya. Wanita itu adalah Sheila. Ia mengenakan tank top ketat yang memperlihatkan belahan dadanya. Zamora sudah bisa membaca isi pikiran wanita itu.

"Ada apa?" tanya Zamora sinis. Sheila terlihat kecewa karena bukan Steven yang membukakan pintu.

"Apa Steven ada di dalam?"

"Tidak ada."

"Kau berbohong," balas Sheila. Pandangan wanita itu terlihat begitu kagum.

Zamora yang merasa heran menoleh ke belakang. Ia langsung membelalakan matanya. Steven, pria itu melepaskan kaos yang dipakainya. Memperlihatkan otot-otot perutnya. Pria itu berjalan ke arahnya, Zamora langsung menutup pintu hingga membuat Sheila terkejut.

"Siapa itu? Kenapa kau tutup pintunya?"

Zamora menelan salivanya, ia sering melihat Zaco bertelanjang dada. Namun kenapa terlihat sangat berbeda dengan Steven.

Gosh, dia begitu menggoda.

Zamora menggelengkan kepalanya, mencoba menghilangkan pikiran itu. "Itu Sheila." pandangan gadis itu masih pada perut Steven.

"Apa katanya?"

Suara bel kembali terdengar.

"Biar aku yang membukanya, kau masuklah," kata Zamora.

"Aku saja, kau lebih baik buatkan aku omelet."

Zamora terpaksa menuruti Steven, ia tidak mungkin melarang Steven membukakan pintu untuk Sheila. Itu akan terdengar aneh. Gadis itu menuju pantry lalu menyiapkan bahan-bahan. "Ini akan menjadi omelet yang tidak akan pernah kau lupakan rasanya!"

Ia mulai mencincang bawang putih, namun matanya tertuju ke arah pintu. Gadis itu penasaran dengan percakapan antara Steven dan Sheila. Saat Steven memutar tubuhnya, Zamora berpura-pura fokus mencincang.

"Aku mandi dulu, buatkan aku omelet yang enak."

"Tentu saja," balas Zamora sambil tersenyum penuh makna.

***

Zamora membawa piring yang sudah berisi omelet dan meletakkannya di atas meja.

"Terima kasih." Steven terlihat tidak sabar mencoba omelet buatan Zamora, namun saat ia mulai mengunyah. Pria itu langsung berlari menuju pantry dan memuntahkannya.

"Tidak enak ya," ucap Zamora lalu tertawa puas. "Aku menambahkan semangkuk garam."

"Kau gila! Apa itu lucu?" tanya Steven lalu mendekati Zamora. Gadis itu langsung terdiam, apa Steven marah padanya?

Steven terus mendekati Zamora hingga punggung gadis itu menabrak dinding. Zamora menundukkan kepalanya, ia hanya bermaksud membalas Steven, tapi tidak menyangka akan seperti ini. "Maafkan aku, aku salah."

Steven tersenyum, sepertinya ia tidak akan bisa marah pada Zamora. Gadis itu terlihat seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen. Steven mengangkat dagu Zamora sehingga pandangan mereka bertemu. Jarak keduanya begitu dekat dan itu menyebabkan hidung mereka bersentuhan. "Jangan mencium ku," ucap Zamora.

"Aku bahkan tidak memikirkannya, tapi karena kau mengatakannya,-" Steven tidak melanjutkan ucapannya. Pria itu menatap bibir Zamora.

"Apa?" tanya Zamora.

"Apa kau pernah berciuman?"

"Pertanyaan bodoh macam apa itu, tentu saja aku sudah pernah berciuman." Zamora berbohong, ia tidak ingin Steven menertawakannya jika ia berkata jujur.

"Aku tidak percaya," balas pria itu.

Zamora mengecup bibir Steven, membuat pria itu sedikit terkejut.

"Kau sebut itu ciuman, Zamora."

Gadis itu menganguk begitu polos.

Tanpa aba-aba Steven langsung menarik tengkuk Zamora, menempelkan bibir mereka. Ia melumat bibir gadis itu. Sedangkan Zamora memejamkan matanya menikmati ciuman Steven. Ini adalah ciuman pertamanya, ia tidak begitu tahu bagaimana cara membalas ciuman pria itu. Zamora hanya mengikuti apa yang dilakukan Steven pada bibirnya.

Steven menghentikan ciumannya lalu tersenyum melihat wajah tersipu Zamora.

"Dude." terdengar suara Ryan.

Steven menoleh ke arah sumber suara. "Sejak kapan kau datang?"

"Baru saja, ada apa?"

Steven menggelengkan kepalanya, ia merasa lega Ryan tidak melihatnya berciuman dengan Zamora.

"Zamora, kau disini?"

"Iya, tapi aku akan pulang sekarang," balas Zamora sambil tersenyum kaku.

"Aku akan mengantar mu," sahut Steven.

"Tidak, aku naik taksi saja." Zamora berjalan dengan cepat meninggalkan apartemen Steven.

***

"Ada apa dengannya? Dia demam lagi, pipinya merah sekali." tanya Ryan.

"Aku menciumnya." jawab Steven jujur.

Ryan menganguk paham. "Kalian berpacaran?"

Steven menggeleng pelan. Ia dan Zamora bukan sepasang kekasih, pria itu yakin setelah ini hubungannya dengan Zamora akan menjadi canggung. Walaupun begitu, ia tidak menyesal karena telah mencium Zamora. Ia menyukai bibir lembut gadis itu.

"Lalu kenapa kau berani sekali menciumnya, kau mau menjadi bajingan setelah dikhianati."

Steven menatap tajam sahabatnya itu. "Jangan bicara sembarangan! Aku bukan pria seperti itu."

"I know, why are you so serious?" Ryan mengambil garpu, ia ingin mencoba omelet yang begitu menggugah seleranya. Belum sempat Steven memberitahu, Ryan sudah memakannya dan berakhir menyemburkannya. "Siapa yang membuat racun ini?"

Steven tertawa sangat keras melihat wajah Ryan. "Itu racun yang Zamora buat untukku, enak kan." Steven memegangi perutnya, ia tidak bisa berhenti tertawa.

"Sialan!" Ryan mengambil botol air mineral lalu meneguknya cepat, ia tidak menyangka bahwa ia sudah terkena jebakan.








STEMORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang