32

1.6K 61 0
                                    

Minzi mengeluarkan semua gaun yang ia miliki dari dalam lemari. Ia terlihat bingung harus mengenakan gaun yang mana dan karena itulah ia memanggil Zamora datang ke apartemennya. Namun gadis itu malah asyik bermain handphone sambil tersenyum tidak jelas.

"Bisakah kau mengabaikan pesan dari kekasih tampanmu sebentar, Zamora. Bantu aku memilih gaun. Malam ini aku ingin terlihat luar biasa."

Malam ini Ryan mengajak Minzi menghadari pesta pertunangan sepupunya. Ia tidak ingin terlihat jelek di depan keluarga Ryan.

"Sepertinya gaun merah ini sangat cocok untukmu." Zamora yang sudah meletakkan ponselnya mulai membantu sahabatnya itu.

"Aku rasa itu terlalu mencolok."

"Benar juga, kalau begitu kenakan yang ini." Zamora menunjuk gaun berwarna putih yang terlihat sangat elegan.

"Aku akan mencobanya kalau begitu."

Tidak membutuhkan waktu lama, gaun pilihan Zamora sudah melekat di tubuh Minzi. Ia tersenyum melihat penampilannya di cermin. Ia terlihat cantik.

"Kau dan Ryan. Bagaimana hubungan kalian?" tanya Zamora.

"Tidak ada kemajuan. Dia masih belum mengatakan perasaanya padaku. Jika dia terus seperti itu dengan sangat terpaksa aku yang akan mengatakannya lebih dulu."

Mata Zamora membelak. "Kau gila?"

"Tidak," sahut Minzi begitu santai.

"Saat aku diposisi mu, kau tidak mengizinkan aku mengatakan perasaanku pada Steven. Lalu kenapa sekarang kau ingin mengatakan perasaanmu lebih dulu?"

Minzi terkekeh pelan. "Saat itu kau tidak mengetahui perasaan Steven padamu. Jika kau menyatakan cinta lebih dulu dan ternyata Steven tidak menyukaimu maka kau akan sakit hati. Sangat berbeda dengan posisiku sekarang. Aku sudah mengetahui perasaan Ryan, dia juga menyukaiku karena itu aku berani menyatakan perasaan lebih dulu."

Zamora menganguk, Minzi memang sangat paham tentang hal seperti itu.

"Saat menginap di apartemen Steven apa saja yang kalian lakukan? Aku tebak kau ketagihan berciuman dengannya." Minzi tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya.

"Kita tidak melakukan apa yang sedang kau pikirkan sekarang. Kita hanya tidur bersama."

Minzi memutar bola matanya. "Aku yakin Steven sangat menahan hasratnya karena tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman."

"Maksudnya?"

"Dia pria normal, tidur di ranjang yang sama denganmu adalah sebuah tantangan besar."

"Dia tidak terlihat seperti itu. Jangan sok tahu."

Minzi mengendikan bahunya. "By the way, apa kau sudah memberitahu Steven kalau sebenarnya kita yang lebih dulu mengetahui tentang perselingkuhan Kinta dan Ellard."

"Sepertinya itu tidak penting lagi."

"Kau yakin? Aku rasa kau lebih baik mengatakan yang sejujurnya."

"Iya, aku yakin."

Minzi mengangguk, walaupun ia sebenarnya kurang yakin dengan itu.

***

"Dia hamil? Haruskah kita percaya bahwa itu anak Ellard? Dia bukan perempuan baik-baik, Steven." Millen tidak pernah membayangan akan memiliki menantu seperti Kinta.

"Sebaiknya Mommy langsung menanyakannya pada kakak. Kinta juga bilang bahwa Ellard tidak bisa dihubungi dan sulit untuk ditemui. Aku yakin kakak melakukan itu karena Mommy yang memintanya. Ellard selalu menuruti apa yang Mommy minta, aku sangat mengetahui tentang hal itu."

Millen memijit pelipisnya, ia bingung. Ia sangat tidak menyukai Kinta. Jika wanita itu memang benar mengandung anak Ellard maka ia tidak bisa melarang Ellard untuk menikahinya.

"Mom." Steven menyentuh bahu Ibunya.

"Bagaimana dengamu, Nak? Wanita itu meminta bantuanmu dengan tidak tahu malu.  Kau baik-baik saja dengan semua ini?"

Steven tersenyum. "Seperti yang Mommy lihat, aku baik-baik saja. Jika janin yang dikandung Kinta adalah anak Ellard maka kakak harus bertanggung jawab, Mom."

Millen memeluk Steven erat. Ia mengelus punggung putranya itu. "Mommy, sangat menyayangimu. Sering-seringlah datang ke rumah seperti sekarang."

"Aku tidak bisa. Daddy tidak akan suka jika melihatku."

Hening.

Steven tiba-tiba melepaskan pelukan Ibunya. Ia melihat kedatangan sang Ayah. Pria paruh baya itu hanya menatapnya.

"Jangan khawatir. Aku akan pergi sekarang." ucapan yang Steven tunjukkan untuk Ayahnya berhasil membuat Albert merasa begitu buruk.

Steven berpamitan pada Ibunya dan juga Ika. Ia melewati Albert tanpa ragu. Di pintu keluar ia juga berpapasan dengan Ellard. Pria itu tidak menyapa atau pun menatap kakaknya. Sementara Ellard terus menatap adiknya itu hingga mobil Steven sudah tidak terlihat lagi

"Dia membenciku, Mom," ucap Ellard tepat saat Millen berada di belakangnya.

"Steven tidak membencimu, dia butuh waktu. Pengkhianatan yang kau lakukan sangat melukainya."

Ellard setuju dengan ucapan Ibunya. Pengkhianatan yang ia lakukan benar-benar tidak bisa dimaafkan. Itulah yang membuatnya enggan untuk meminta maaf pada Steven.







STEMORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang