43

1.2K 44 0
                                    

Zamora memasukkan semua pesanan bunga ke dalam keranjang sepadanya. Zaco berniat membantu sang kakak, namun Zamora segera menghentikannya

"Aku bisa sendiri," ucap Zamora datar.

Sejak kepergian Steven, Zamora selalu menyibukkan dirinya. Wanita itu akan terus melakukan pekerjaan agar tidak mengingat tentang Steven.

Minzi yang memperhatikan Zamora dari kejauhan mendekati sabahatnya. "Hari ini biarkan aku menemanimu mengantar pesanan bunga ini. Tidak ada penolakan, Zamora."

Zamora hanya bisa pasrah, ia membiarkan Minzi memindahkan bunga-bunga tersebut ke dalam mobilnya.

"Ke mana saja aku harus mengantar pesanan bunganya?"

Zamora memberikan kertas yang sudah berisi alamat kepada Minzi.

"Kau sudah makan?" Minzi bertanya sembari fokus menyetir.

"Sudah."

"Kalau sudah kenapa kau terlihat lesu sekali?"

"Apa aku harus selalu terlihat bersemangat bahkan di saat aku tidak ingin?" tanya Zamora ketus.

Minzi sangat menyadari perubahan Zamora, contohnya seperti sekarang. Zamora cepat merasa kesal bahkan untuk hal kecil.

Tidak ada pembicaraan lagi di antara keduanya, Minzi menepikan mobilnya ketika mereka sudah sampai di salah satu rumah pelanggan. Zamora pun turun dari dalam mobil.

Sebelum Zamora sempat menekan bel, pemilik rumah sudah membukakan pintu untuk wanita itu.

"Zamora, kau datang sendiri?"

Zamora menganggukan kepala sambil tersenyum tipis.

"Di mana pria yang biasanya bersamamu. Dia tidak ikut?"

Perubahan wajah Zamora begitu cepat, ia yang tadinya tersenyum berubah menjadi tidak bereskpresi. "Dia sudah pergi."

"Pergi ke mana?"

"Aku harus mengantar pesanan bunga lagi, permisi."

Zamora memutuskan pergi dari sana, ia tidak ingin wanita paruh baya itu bertanya lebih banyak tentang Steven. Setiap kali ia mengingat Steven dadanya terasa begitu sesak.

"Zamora, are you okay?"

"Yeah."

Tentu saja Minzi tahu jika Zamora sedang tidak baik-baik saja, tetapi ia memilih untuk tidak bertanya lagi.

****

Albert menghampiri Millen yang sedang berbicara kepada seorang pria. Sudah sekitar tiga bulan istrinya itu sibuk mencari keberadaan Steven tanpa mengenal kata lelah.

Melihat keberadaan Albert, Millen meminta orang suruhannya untuk pergi dari sana. "Kau bisa pergi sekarang"

"Baik, Nyonya."

"Ada apa? Jika kau datang untuk menyuruhku berhenti, maka pergilah. Aku tidak akan berhenti sampai aku tahu di mana keberadaan Steven." Millen berucap tegas.

Albert mendudukan dirinya di sofa, melipat kedua tangan di depan dada. "Tidak, lakukan apapun yang kau mau."

"Kau tidak merasa bersalah?"

"Untuk apa aku merasa bersalah, ini adalah keputusannya. Aku tidak pernah meminta dia untuk pergi."

Albert mengatakan kalimat itu dengan tenang, namun sebenarnya ia tidak setenang itu. Ia juga mengkhawatirkan Steven, meski tidak pernah memberitahu tentang hal itu pada Millen.

"Bagus, aku tidak perlu mengatakan apapun lagi. Kau Ayah yang kejam!"

Millen memukul meja yang ada di hadapannya, lalu beranjak pergi dari tempat itu.

***

"Steven," panggil seorang wanita cantik bernama Mina. Rambut yang dikepang rapi merupakan ciri khas wanita itu.

Steven yang tadinya masih mengawasi proses penanaman di kebun teh tersebut menoleh ke arah Mina.

"Ada apa?"

"Temanmu yang dari kota datang lagi." Mina menunjuk ke arah Ryan yang berdiri tidak jauh dari mereka.

"Suruh dia menemuiku di sini."

Mina mengikuti perintah Steven. Ryan pun mendekati sang sabahat yang tampak masih sibuk bekerja. Steven bekerja di perkebunan teh sebagai manajer pabrik. Meninggalkan dunia balap dan bekerja mengawasi perkebunan teh adalah hal yang tidak pernah Steven bayangkan sebelumnya.

"Apa kabar, Dude?" sapa Steven.

"Baik, bagaimana denganmu? Sepertinya kau suka ada di sini. Tidakkah di sini membosankan?"

"Tempat yang membosankan bisa menjadi tempat yang indah jika itu untuk kedua orang tuaku."

Ryan mengela napas panjang. "Untuk pertama kalinya aku tidak suka kebaikan hatimu, kau juga berhak bahagia."

"Jika ibuku bahagia, aku juga bahagia."

"Kau yakin ibumu bahagia sekarang? Dia terus berusaha mencari tahu keberadaanmu. Sudah aku bilang ini bukan solusinya."

Steven meletakkan satu tangannya di bahu Ryan. "Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku, tapi kau tidak pernah berada di posisiku, jadi kau tidak tahu bagaimana rasanya menjadi aku. Berhenti mengatakan bahwa apa yang aku lakukan saat ini bukan solusinya."

"Maaf, aku hanya_"

"It's okay, aku mengerti," potong Steven.

"Kau tidak menanyakan kabar Zamora?"

Steven tidak menjawab, ia justru mengambil botol air minum yang berada di sampingnya lantas meneguk air tersebut.

"Dia terus berpura-pura baik-baik saja, dia rapuh dan menjadi lebih sensitif terhadap apapun. Kau membuat aku menjadi orang paling jahat sedunia, aku berbohong kepada semua orang. Aku mengetahui keberadaanmu, tapi tidak bisa memberitahu siapapun."

"Maaf." Steven berkata dengan tulus, ia tahu jika ini juga sulit untuk Ryan.

"Sejak kapan kita jadi saling meminta maaf seperti ini?"

Steven terkekeh pelan. "Sejak ada banyak drama yang terjadi dalam hidupku."

"Ngomong-ngomong Mina terus melihat ke arah kita, lebih tepatnya ke arahmu. Dia menyukaimu, 'kan?"Ryan sengaja mengubah topik pembicaraan.

Steven mengendikan bahunya. "Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu." Pikiran Steven hanya dipenuhi oleh Zamora, ia tidak akan sempat memikirkan hal-hal seperti itu.

"Dia menyukaimu, Dude. Zamora tidak akan senang jika mengetahui tentang hal ini."

"Karena itu dia tidak boleh tahu, jangan pernah mengingkari janjimu padaku meski aku tahu kau sangat ingin mengingkarinya."

"Okay." Ryan menyahut dengan malas.

****







STEMORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang