38

1.3K 52 4
                                    

Zamora menunggu kedatangan Steven di depan rumahnya dengan perasaan gelisah. Ia membaca pesan yang Steven kirimkan, tidak seperti biasanya, pria itu mengirimkan pesan yang sangat singkat.

Suara mesin mobil pun terdengar, Zamora menghampiri Steven yang sudah keluar dari mobil. Wajah pria itu tidak menunjukkan ekspresi apapun.

"Steven." panggil Zamora lembut.

"Hm."

"Apa ada masalah?"

Steven tidak menjawab, entah kenapa Zamora mendadak menjadi gugup. Ia pun menyentuh tangan Steven. "Katakan padaku, ada apa?"

"Kenapa kau tidak pernah menceritakan tentang perselingkuhan kakakku dengan Kinta meski kau sudah mengetahui semuanya?"

Jantung Zamora seakan berhenti berdetak, setiap kata yang Steven ucapkan membuatnya sangat takut.

Wanita cantik itu menarik napas sebentar, kemudian menghembuskannya. "Siapa yang memberitahumu?"

"Apa itu penting, Zamora? Kau hanya perlu menjawab pertanyaanku!"

"Masuklah dulu, kita bicara di dalam."

"Tidak perlu, katakan saja di sini."

"Baiklah, aku memang sudah berbohong padamu. Aku juga sangat terkejut awalnya, aku tidak bisa menceritakan tentang hal itu karena aku tahu itu akan membuatmu terluka."

"Terluka?" ulang Steven. "Lalu apakah dengan menyembunyikan semua itu aku tidak terluka, justru aku lebih terluka."

"Aku sudah berusaha memberitahu saat itu, tapi hari itu aku justru jatuh pingsan karena sakit. Maafkan aku, Steven. Aku tidak bermaksud menyembuyikan semua itu darimu."

"Kenapa meski saat aku sudah mengetahui semuanya kau tetap saja berbohong?"

"Aku pikir semuanya sudah berlalu, kenapa kita harus membahas tentang ini?"

Steven menggeleng pelan. "Aku mengikhlaskan semuanya, tapi bukan berarti aku melupakannya. Setiap saat aku melihat Kinta dan kakakku bersama aku selalu ingat pengkhianatan mereka. Dan sekarang, setiap kali aku melihat dirimu aku mengingat kebohonganmu. Aku kecewa padamu, Zamora." Steven memutar tubuhnya, Zamora segera mencekal tangan Steven mencoba untuk menghentikan pergerakan pria itu.

"Maafkan aku, Steven. Jangan pergi, aku mohon."

"Biarkan aku pergi, jika kau sungguh ingin minta maaf padaku."

Meskipun dengan sangat berat hati, Zamora terpaksa melepaskan tangan Steven . Air mata menetes mengenai pipi wanita itu tepat saat Steven meninggalkan kediamannya.

****

Steven menggedor pintu rumah Ryan dan tidak lama pintu itu pun terbuka lebar untuknya.

"Masuklah." Ryan mempersilakan Steven masuk dan memperhatikan wajah Steven yang terlihat muram.

"Apa kau punya minuman beralkohol?"

Ryan bergegas menuju kulkas dan mengambil tiga wine dari sana, kemudian kembali pada Steven.

"Ada masalah?"

Steven terkekeh pelan. "Selalu ada masalah dalam hidupku."

Untuk pertama kalinya Ryan mendengar kalimat seperti itu keluar dari mulut Steven. Sangat jelas bahwa Steven tampak putus asa.

"Semua orang memiliki masalah dalam hidup mereka, Dude."

"Iya, aku tahu. Tapi sepertinya masalah selalu menghampiri diriku." Steven menuangkan wine ke dalam gelas, lantas meneguknya cepat.

"Apa yang kau bicarakan, masalah apa lagi kali ini?" tanya Ryan yang mulai penasaran.

"Tidak ada, minumlah." Steven memberikan wine kepada Ryan.

"Kau tidak ingin memberitahu aku?"

"Iya," sahut Steven cepat. "Cukup temani aku minum dan kau sudah sangat membantuku."

"Apa ini tentang Ayahmu lagi?"

"Ayahku? Apa aku punya ayah?"

Bahkan Ryan tidak tahu harus menjawab seperti apa pertanyaan dari Steven. Meskipun memiliki ayah, namun nyatanya Steven tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ayahnya.

Ponsel Ryan berbunyi, ia menatap Steven lama dan sekarang ia tahu masalah pria itu. Zamora menghubunginya.

"Jangan dijawab!" seru Steven.

"Kenapa begitu? Apa kau sedang menghidar darinya?"

"Hanya itu yang aku pikirkan saat ini."

"Tapi Zamora pasti mengakhawatirkan dirimu."

"Aku tahu, tapi biarkan saja dia. Tolong jangan jawab telepon itu."

"Maaf, tapi aku tidak bisa." Ryan akhirnya menjawab panggilan Zamora dan mengaktifkan loudspeaker agar Steven bisa ikut mendengar Zamora.

"Ryan, maaf menganggumu. Apa Steven bersamamu? Aku tidak bisa menghubunginya."

Steven menggelengkan kepala pelan, memberikan isyarat kepada Ryan agar tidak memberitahu Zamora.

"Tidak, apa kalian sedang ada masalah?"

"Tidak ada, kalau begitu aku tutup telponannya. Terima kasih, Ryan."

Dari suara Zamora terdengar jelas bahwa wanita itu sedang menangis. "Entah apa yang terjadi di antara kalian, aku harap kalian segera menyelesaikannya." Ryan berucap pelan.

Steven tidak tahu sampai kapan ia sanggup menghindar dari Zamora. Yang ia tahu saat ini ia hanya sedang kecewa dan membutuhkan waktu sendiri.

***

"Apa katanya?" Minzi bertanya setelah Zamora mengakhiri panggilan teleponnya.

"Dia bilang tidak bersama Steven."

Minzi mendekati sang sahabat lantas menepuk bahu Zamora pelan.

"Ryan pasti terpaksa berbohong, dia baru saja mengirimi aku pesan dan Steven ada bersamanya. Dia menyuruhku mengatakan padamu."

"Steven pasti sangat kecewa padaku, Minzi. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"

"Tenanglah, Zamora. Biarkan Steven menenangkan hati dan pikirannya dulu. Setelah itu baru temui dia lagi."

"Seharusnya aku mendengarkan ucapanmu, aku pikir tidak penting lagi untuk memberitahu Steven. Tapi kenyataanya Steven kecewa karena hal ini." Zamora tidak bisa berhenti menyalahkan dirinya.

"Kau tahu sendiri bahwa kebohongan tidak pernah berakhir baik,  tapi tidak ada yang perlu disesali, semua sudah terjadi, Zamora."

"Aku hanya takut dia tidak mau memaafkan aku," lirih Zamora.

"Jangan memikirkan hal yang belum tentu terjadi, percayalah pada cinta kalian, dia pasti memaafkanmu," ucap Minzi menenangkan Zamora.

****







STEMORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang