18. Insiden Malam Hari

5.6K 507 19
                                    

18. Insiden Malam Hari

Jika mencintaimu itu luka, maka aku siap menjadi obatnya,”

"Gak apa-apa, gini-gini juga aku calon istri kamu!" ucap Dara setelah tadi Angkasa menghujatnya karena suka halu.

"Kamu tahu, gak? Sebenernya aku udah punya suami, tahu!" Dara tersenyum bangga. "Namanya Brig—"

"Gak nanya," sela Angkasa cepat. Matanya terus memperhatikan stelan yang teman-temannya pilih untuk acara pernikahannya nanti. Andai saja yang akan ia nikahi adalah Dara-nya, pasti Angkasa sangat amat bahagia sekarang.

"Ra, gue mau nanya. Emangnya apa, sih, enaknya ngehalu?" tanya Raja penasaran. Pasalnya banyak sekali orang-orang yang mempunyai hobi satu ini, apalagi rakyat dunia oren.

Dara menggaruk tengkuknya, "ya ... susah, sih, ngejelasinnya. Tapi intinya tuh ngehalu itu rasanya bener-bener mantap," ucap Dara mengacungkan dua jempolnya.

Mario hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sang calon menantunya ini.

"Oh, iya, Ra. Ntar pas lo nikah yang jadi wali lo bokap lo, kan?" tanya Dewa seraya melirik gadis itu sekilas.

Dara yang awalnya ceria kini berubah lesu. Dia hanya diam, tidak tahu harus menjawab pertanyaannya Dewa seperti apa.

"Mulai sekarang, kamu bukan anak saya. Nama kamu sudah saya hapus dari kartu keluarga. Jadi mulai sekarang kamu bukan siapa-siapa lagi di hidup saya!"

Dara mencengkram lengan Raja dengan kuat saat kata-kata itu muncul di benaknya.

"Aku enggak punya keluarga," ucap Dara lirih, kepalanya tertunduk dan butir-butir bening itu mulai menetes dari mata indahnya.

"Eh?" Raja terperanjat kaget saat lengannya di cengkeram kuat. "Ra?" panggil Raja.

Semua yang ada disana langsung menatap gadis itu heran. Dara langsung berdiri dan pergi dari ruangan itu membuat semuanya bingung.

Dewa memukul mulutnya karena merasa ini adalah salahnya yang menyinggung tentang keluarga pada gadis itu. Jujur, Dewa tidak tahu kalau Dara tidak memiliki keluarga.

Sedangkan disisi lain, Dara berjalan cepat menuju kamarnya. Biasanya saat Monchi mendekatinya, dia akan menjerit ketakutan. Tapi sekarang, dia mengabaikan hewan itu.

"Chimon ... bukan aku yang bunuh dedek bayi itu," gumam Dara yang menatap hewan imut itu. Sepertinya phobia-nya hilang sekarang.

Dara berbaring terlentang, matanya beralih menatap langit-langit kamarnya. Ingatannya kembali berputar pada kejadian lima tahun lalu.

Kepalanya sangat pening saat kejadian-kejadian itu melintas di pikirannya. Ia menutup matanya rapat-rapat saat suara-suara menakutkan itu terdengar nyaring di telinganya sampai membuatnya menutup juga kedua telinganya.

"B-bukan aku ... aku enggak bunuh dedek bayi ...," lirih Dara di tengah tangisnya yang mulai pecah.

Monchi melompat—tepat di atas lutut Dara dan berhadapan dengan muka gadis itu.

ANGKASADARA 2 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang