31. Penjaga

629 147 17
                                    

Jika saja Hank bisa bicara manusia, mungkin anjing itu akan mempertanyakan kewarasan dari sang pemilik yang sejak sore tadi terus tersenyum bak orang gila. Tak hanya Hank sang saudara kembar yang baru saja tiba pun ikut bertanya-tanya dengan sikap Caca yang seperti orang yang menang lotre 10 milyar.

Jingga bukan tipe orang yang memendam rasa penasarannya. Jadi, tak seperti Hank yang hanya diam mengamati, Jingga bertanya kepada Caca.

"Lo kenapa senyum-senyum kayak orang stres?" Caca menoleh karena sejak awal pikirannya sedang melalang buana hingga tak menyadari keberadaan saudara kembarnya itu.

"Lo udah nyampe," Caca bukanlah anak yang ramah seperti itu dan kini Jingga yakin kalau ada sesuatu yang aneh dari sang saudara kembar. Kemudian Jingga teringat bahwa Caca pulang bersama dengan Vino.

"Lo abis diapain Vino sih sampai eror gini?"

"Vino? Ah si kampret itu emang bala banget, sebel gue." Kalimat yang baru saja diucapkan oleh Caca tak sinkron dengan ekspresi di wajahnya, apalagi Caca terus menyentuh bibirnya seolah menunjukkan bahwa telah terjadi sesuatu pada bibirnya dan itu membuat Jingga menyadari sesuatu.

"Lo abis dicium Vino?" tanya Jingga begitu saja.

"Nggak! Bukan Vino yang nyium gue!" Caca memang kadang pandai berbohong, tapi ada masa dimana otaknya tak berfungsi dengan baik. Seperti pada masa jatuh cinta.

"Siapa yang nyium lo?"

"Jay," katanya begitu saja.

"Nyebelin banget emang, bibirnya ada rasa manisnya kayaknya dia abis makan permen. Padahal hue nggak suka manis."

Caca berbicara seolah-olah dia tak suka dengan adegan ciuman, tapi bibirnya tersenyum dari ujung ke ujung yang menunjukkan bahwa gadis itu sangat menyukai ciuman itu.

"Lo suka?"

"Nggak." Mulutnya berkata tidak, tapi kepalanya mengangguk ditambah senyum yang tak bisa hilang dari wajahnya.

"Stres!" Jingga sudah lelah menghadapi kembarannya ini.

"Siapa juga yang stres! Oh ya, titipan gue mana?" tanya Caca ingat bahwa ia meminta Jingga untuk membelikan beberapa makanan anjing untuk Hank.

"Sorry gue nggak sempet mampir." Jingga tak lupa, tapi Lingga benar-benar membuatnya tak bisa mampir kemana pun.

"Lo pergi berjam-jam, bisa-bisanya lo nggak beliin. Kasian Hank."

"Sorry, gue juga nggak tau kenapa Lingga larang gue." Alis Caca bertaut dan mulut gadis itu siap untuk memaki Lingga yang tak membelikan Hank makanan.

"Emang kurang ajar si Lingga! Awas aja besok kalo ketemu gue jambak dia. Enak aja dia monopoli lo sampai kayak gitu."

"Dia nggak maksud kayak gitu. Tadi ada motor yang ngikutin kita terus. Buat ngecek kita sampai muter-muter bundaran HI dan dia masih ngikutin. Terus akhirnya Lingga anter gue balik, nggak jadi deh acara beli buku gue." Senyum Caca yang sedari tadi terpasang mulai luntur. Ada tanya di benaknya, apa itu Farel?

"Lo liat orang yang ngikutin lo?" Jingga menggeleng.

"Dia pake helm full face tapi gue inget plat motornya." Caca langsung beranjak dari kasur kemudian menuju ke meja belajar mengambil buku dan juga bolpoin.

"Sebutin!" Jingga mulai menyebutkan satu persatu nomor polisi motor yang mengikutinya dan Lingga.

"Mau lo apain?" tanya Jingga.

"Cuma gue periksa aja." Jingga mengangguk menyetujuinnya.

Caca baru saja ingin menghubungi Vino untuk mengecek nomor polisi itu karena bagaimanapun Vino memiliki orang dalam dari kepolisian. Namun, sebuah dering telpon harus menghentikannya.

ArcaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang