15. Rumah Sakit

1.4K 295 39
                                    

Diam bukanlah gaya seorang Caca, tapi untuk kali ini dia mencoba setenang putri Solo. Tidak, Caca tidak sedang mengikuti sebuah kontes kecantikan yang mengharuskan dia bertingkah kalem dan anggun layaknya seorang putri. Gadis itu hanya diam karena dia merasa tak pantas untuk bertingkah bar-bar saat ia menunggui sesosok lelaki tinggi tampan yang kini sedang terbaring di atas brankar setelah menyelamatkannya dari pengendara motor goblok yang nyeruduk layaknya banteng.

Namun, tak usah panik, lelaki itu masih hidup, jantungnya masih berdetak dan  tidak dalam keadaan koma apalagi lupa ingatan, ingat ini bukan sinetron di saluran ikan terbang dimana tokohnya keserempet motor langsung meninggal dan lupa ingatan, ini cerita wetped jadi buang jauh-jauh pikiran itu. 

Namun, meskipun keadaan sang penyelamat stabil dan hanya luka-luka ringan yang membuat wajah tampannya sedikit tergores aspal, Caca masih setia di sana duduk terdiam seolah dia adalah  kekasihnya yang begitu setia bahkan menolak untuk makan. Padahal sang kakak menawarkan diri untuk bergantian menjaga Lingga, tapi tetap saja Caca si keras kepala tak mau beranjak seolah-olah kakinya terpaku pada tempat itu. 

"Makan!" Caca memandang lelaki yang kini menyodorkan sebuah nasi kotak. Wajahnya tak kalah lelah dengan caca.

"Nggak napsu makan." Javier tentu tak akan memaksa buang-buang tenaga, mana ia sedang lelah.

"Ya udah," katanya lalu meletakkan makanan itu di nakas.

"Tapi, gue denger-denger Tuhan nggak suka makhluknya nyiksa diri. Dan kalo lo dibenci Tuhan doa lo bakal mental. Ya walaupun lo banyak dosa seenggak—"

"What are you trying to say?"

"Nope, cuma mau bilang lo nggak makan sama aja lo nyiksa diri dan harapan lo biar si Lingga bangun mungkin nggak terkabul."

"Ya ampun mulut lo ini! Iya ini gue makan!" Dengan kasar Caca mengambil makanan itu, tak peduli napsu makan yang sempat pergi bertamasya sekarang ia duduk menyantap nasi kotak.

"Bodyguard-nya Lingga masih di luar, katanya kita nggak perlu ngasih tau nyokapnya Lingga karena bokapnya udah tahu dan kita disuruh jaga rahasia," jelas Javier pada Caca yang otaknya sedang nge-bug.

"Kenapa?" tanya Caca yang masih tak mengerti.

"Dia nggak mau berita ini keluar karena lo tahu kalau sampai mereka mikir motor itu sengaja nabrak lo—"

"Motor itu emang sengaja mau nabrak gue." Beginilah ciri-ciri manusia yang memiliki tingkat kesabaran setipis lapisan es di sungai Riverdale, suka memotong pembicaraan orang.

"Maksudnya kalo sampai orang tahu itu kejadiannya semuanya bakal mikir itu gara-gara Lingga dan itu nggak aman buat posisi Lingga. Paham?" Caca mengangguk, tetapi kemudian menggelengkan kepalanya.

"Apa tuh maksudnya?"

"Gue paham maksud lo, tapi jelas ini bukan masalah kutukan. Kutukan itu nggak ada. Kalo kutuan itu baru ada." Caca kembali membuka teori, memang kadang otak hanya butuh makanan untuk bisa bekerja.

"Pertama, lo mikir nggak gimana bisa setan punya lipstik buat nulis di kaca? Kedua, lo tau hubungan gue sama Jingga gimana dan dia nggak mungkin lakuin itu. Ketiga, kenapa setan itu ngirimin gue teror lewat kado, ya masa setan punya duit buat beli kertas kado. Keempat, kalo pun si pengendara motor itu kesurupan setan Jingga, nggak mungkin dia bisa nabrak gue. Jingga nggak bisa naik motor."

Sejenak Caca lupa dengan Lingga karena asik mengutarakan teori konspirasi tentang kutukan yang menurutnya tak nyata.

"Terus siapa? Yang ngelakuin itu?"

ArcaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang