46. Tim Lingga VS Tim Javier

449 83 54
                                    

Khusus hari ini, Lingga menjadi manusia pertama yang menginjakkan kaki di sekolahnya dan jelas itu bukan tanpa alasan. Lelaki itu sedang sibuk mengurus acara meminta sidik jari untuk mencari sample yang akan dicocokkan dengan bukti yang didapat dengan menjadikan acara penembakan Caca sebagai alasan. Atau mungkin malah sebaliknya, Lingga menjadikan alasan mencari bukti untuk menyatakan perasaannya pada Caca. Tak ada yang tahu.

Butuh waktu yang tak begitu lama berkat bantuan dari bodyguardnya yang kini sudah kembali pulang begitu ada siswa yang mulai memasuki kawasan sekolah yang tak lain adalah gerombolan Caca. Ya, Caca, Yogi dan Mina sudah sampai karena mereka penasaran dengan cara yang digunakan Lingga.

"Lingga," panggil Caca yang langsung menghampiri Lingga.

"Lo berangkat pagi." Lingga sudah menduga bahwa Caca dan kawanannya penasaran.

"Ini apa-apaan?" Caca menunjuk ke arah stand banner yang dipasang Lingga.

"Ribut deh kayaknya," bisik Yogi pada Mina.

"Mungkin, kita liat sambil duduk di sana yuk," ajak Mina sambil menunjuk bangku yang selalu mejeng di depan kelas mereka. Sebuah lokasi yang cukup strategis itu menyaksikan keributan.

"Yok." Kini mereka siap menonton keributan pagi-pagi.

"Harusnya lo ngomong dulu sama gue!" Lingga meringis dalam hati, kini ia yakin bahwa usahanya akan gagal, mungkin Caca menang tak ingin ada lelaki selain Ja—

"Kalo lo ngomong gue, gue bisa kasih foto kita berdua yang lebih bagus! Itu muka gue keliatan gendut!"

Vier.

"Lo nggak marah gara-gara gue pake cara ini?" tanya Lingga. Ia pikir Caca akan marah dan membubarkan acara petisi menembak Caca ini, tapi ternyata gadis itu protes karena pipinya yang terlihat tembem, padahal Caca sangat menarik dengan pipi chubby-nya.

"Gue nggak marah sama caranya, tapi gue marah karena foto gue kelihatan jelek. Nih gue kasih liat foto kita yang lebih bagus."

Caca mendekatkan diri pada Lingga membuat lelaki itu sedikit menahan napas karena jantungnya berdetak tak karuan, ia tak ingin Caca mendengarnya dan mengira Lingga sakit aritmia. Namun, kekhawatiran Lingga tak berdasar karena Caca sibuk menunjukkan beberapa foto mereka di galeri ponselnya. Cukup banyak padahal Lingga yakin mereka jarang sekali mengambil foto berdua, tapi kebanyakan adalah foto candid.

"Ini difoto sama Vino, gue simpen soalnya gue cantik banget di situ." Lingga berjanji akan mentraktir Vino yang sudah mengabadikan momennya dengan Caca.

"Kirim ke gue."

"Buat apa?" tanya Caca bingung.

"Karena lo kelihatan cantik." Ucapan Lingga terdengar seperti ucapan para fuck boy professional, tapi percayalah Lingga bukan si f boy, dia mengatakan apa yang ada di otaknya.

"Anjir, Caca mulai lemah pemirsa, mukanya ada merah-merahnya." Yogi sang komentator melaporkan situasi dari bangku penonton dengan suara yang cukup pelan.

"Mau yang mana?" tanya Caca sambil menunduk, entah karena pengelihatannya tak bagus atau karena dia malu dipuji cantik.

"Semuanya." Caca mengangguk kemudian mengirimkannya ke Lingga.

"Udah." Lingga mengecek ponselnya dan di sana sudah ada 16 foto dia dan Caca yang dikirimkan Caca.

"Makasih."

"Anyway, kalo misal ini sesuai target lo 158 orang ngasih jempolnya, kita harus pura-pura pacaran?" tanya Caca sambil menunjuk stand banner yang mengatakan bahwa Lingga butuh 158 agar Caca menerimanya sebagai kekasih.

ArcaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang