13. Protect You

1.5K 292 32
                                    

Lingga tak suka sakit, badannya panas dan semua makanan menjadi tak enak. Dia demam dan ini semua salah Caca yang mengajaknya bermain salju kemaren. Gadis itu sungguh sesuatu, apalagi setelah dengan kurang ajarnya gadis itu mencium pipinya. Caca memang sesuatu.

Kini, Lingga terus mengutuk Caca yang terus saja muncul di otaknya. Semakin dia melihat Caca semakin ia merakan bahwa Jingga ada di sana. Bahkan senyum Caca terasa seperti Jingga. Jika terus seperti ini bukan tak mungkin jika Lingga akan menyukai Caca.

Ingin rasanya untuk tak terjerat dalam pesona Caca yang dari apa yang Lingga lihat gadis itu tak menyukainya sebagai seorang lelaki. Ia merasa bahwa Caca hanya menganggapnya teman. Atau mungkin Lingga adalah alat bagi Caca untuk melakukan pembuktian bahwa kutukan itu tak ada.

Bicara tentang kutukan, sepertinya tak berpengaruh untuk Caca. Satu tanda yang bagus, bahkan papanya juga mengatakan hal yang sama.

Hingga, sebuah pesan hinggap di ponselnya.

Rasti

Caca kena teror
Dia pingsan dan dibawa ke UKS sama Jay

Hanya karena pesan singkat itu, Lingga langsung melompat dari kasur, tak peduli dengan badannya yang panas ia mengambil kunci motor dan melajukannya ke jalanan Jakarta yang sudah pasti panas dan macet.

-o0o-

Caca diam saat Javier akhirnya masuk ke dalam ruang UKS, teman-teman Caca pun langsung undur diri, mereka lebih baik cari aman dibandingkan ikut dalam masalah antar dua manusia yang sekarang seolah sedang melakukan kontes tatap-tatapan yang jelas akan dimenangkan Caca. Gadis itu bahkan bisa memandang wajah tampan Javier berjam-jam tanpa bosan.

"Gue nggak denger apa-apa kalo itu yang lo takutin."

Caca memicingkan matanya menatap penuh selidik. Dia sadar bahwa Javier sedang berbohong padanya. lelaki itu mendengarnya ia yakin itu. Tapi, akan lebih baik jika dia pura-pura tak tahu. Dia juga sedang malas berbohong jadi lebih baik dia diam saja.

"Tapi—"

Pintu UKS dibuka dan menampakan wajah Lingga yang tampak begitu cemas, lelaki itu bahkan datang dengan pakaian bebas dan plester demam di dahinya.

"Lo demam beneran gue pikir bohongan." Caca berusaha untuk bertingkah seperti biasa, bahaya jika Lingga mendorongnya pergi. Kemarin laki-laki itu sudah memberi lampu hijau jangan sampai tiba-tiba menjadi merah. Akan sangat tidak lucu jika harus memikirkan rencana lain.

"Lo bilang kutukan itu nggak bakal kena lo." Matilah Caca. Jika begini, rencananya bisa gagal. Bukan tak mungkin Lingga akan menjauhinya.

"Ehm itu—"

"Emang kenapa kalo Caca kena kutukan?" Caca menoleh pada Javier yang keberadaannya sempat tak dihiraukan oleh Caca.

"Itu artinya hidup dia terancam. Dan satu-satunya cara biar hidup dia kembali kayak semula, dia harus jaga jarak dari gue," kata Lingga. Maniknya bertemu dengan milik Javier yang tak kalah tajam.

"Kenapa lo mikir kalo itu jalan yang bener?" kata Javier tiba-tiba.

Caca pikir Javier akan menyetujui ucapan Lingga, bagaimana pun juga selama ini Javier selalu melarangnya untuk dekat dengan Lingga. Dan hanya dalam hitungan detik lelaki itu berhenti menyuruhnya menjauh dari Lingga.

Banyak tanya yang muncul, apa Javier tak menginginkannya? Apa Javier tak peduli padanya? Apa Javier ingin dia mati?

"Memang ada jalan lain selain itu? Lo nggak tahu seberapa mengerikannya kutukan itu. Lo nggak tahu!" Lingga membentak Javier. Dua orang yang selama ini jarang bertukar kata mulai beradu argumen.

ArcaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang