33. Topeng

518 148 34
                                    

Ini mungkin chapter yang bakal bikin kalian pening dan mengganggu sistem kerja otak beberapa detik. Usahakan baca ketika kalian tak menjalani ujian, entah ujian sekolah ataupun ujian hidup. Karena kalo kalian baca saat-saat seperti itu niscaya pala pening akan tambah penih.

Udah itu aja peringatannya

Happy reading
.
.
.
.
.
.

"Tante!" Mina langsung padang badan di depan Caca sementara Yogi dan Vino secara kompak menarik Mina mundur.

"Tante nggak bisa nampar Caca tanpa alasan dong. Gimana kalo misal saya tampar tante? Tante nggak mau kan?"

"Caca tadi nggak bilang mau, tapi ditampar. Tabok aja Yog," bisik Hana dari belakang.

"Iya," tambah Bianca.

"Kalian diem dulu!" sergah Yogi yang dalam mode serius.

"Bener kata Yogi. Tante nggak bisa tampar Caca tanpa alasan. Bahkan dengan alasan sekalipun, Tante nggak boleh mukul orang sembarangan kecuali Tante mau dibalas."

"Sini biar gue yang bales!" Hana menawarkan diri, memang sejak awal gadis itu berniat mengajak ribut.

"Vin, bawa cewek-cewek pergi sebelum ada keributan. Caca juga," suruh Javier yang tak ingin ada keributan.

"Mau kabur kamu? Setelah buat Jingga kayak gitu?" Langkah Caca terhenti dan menatap ibunya dengan tatapan bersalah.

Caca tahu bahwa ini salahnya karena membuat saudara kembarnya terbaring tak berdaya di sana. Harusnya dia mengecek nasi gorengnya sebelum memberikannya kepada Jingga. Dia sungguh bodoh tak menyadarinya.

"Itu bukan salah Caca." Lingga dan Javier saling melirik begitu mereka mengatakan hal yang sama dalam waktu bersamaan.

"Kamu juga belain dia? Padahal karena dia pacar kamu lagi sekarat di dalam sana!" Yuni menunjuk Lingga.

"Tante, itu beneran bukan salah Caca. Saya yang beli nasi goreng itu. Jadi, salahin aja saya." Javier kembali menekankan bahwa itu semua bukan salah Caca.

Tingkah Javier yang seperti itu tentu membuat Caca kebingungan. Sikap Javier selalu menunjukkan bahwa lelaki itu menyukainya, tapi kenapa dia tak pernah mau mengakuinya?

"Kamu siapa sampai rela belain dia kayak gitu?" tanya Mama Caca.

"Saya pacarnya."

Bianca yang belum pergi langsung berbisik pada Caca.

"Kalian udah pacaran?" tanyanya.

"Gue juga baru tau kalo gue punya pacar," bisik Caca yang juga kaget karena tiba-tiba punya pacar.

"Ah tentu saja kamu belain dia bahkan rela belain dia karena dia pacar kamu." Mina melirik Caca yang mengubah ekspresinya ketika mamanya bicara. Tampak jelas bahwa gadis itu terluka, dari awal mamanya tak pernah menyebut nama Caca ataupun memanggilnya penuh cinta sebagaimana dengan ibu lainnya.

"Tante, dibanding Tante marah-marah kenapa nggak pergi liat Jingga." Yuni menghela napas dan memberikan tatapan nyalang kepada Caca kemudian memasuki kamar inap Jingga.

"Kalian pulang aja. Biar gue yang jaga Jingga." Lingga mulai mengusir teman-temannya.

"Gue di sini. Gimana bisa gue balik kalo saudara kembar gue masih sekarat di dalam sana." Caca yang keras kepala muncul dipermukaan dan bisa dipastikan bahwa acara pengusiran yang dilakukan Lingga akan menjadi alot.

"Nggak gitu Ca. Gue tau lo khawatir, tapi lo liat sendiri di dalam ada mamanya Jingga—"

"Itu mamanya Caca juga!" Vino memotong omongan Lingga.

ArcaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang