53. Semua Karena Jingga

342 65 6
                                    

"Bukannya harus di rongen? Atau apa itu namanya yang temennya rogsen?" Caca tengah heboh meminta dokter memeriksa ulang tangan Lingga yang sudah dijahit dan terbungkus kain kasa.

"CT Scan?" Sang dokter memberitahu nama pengecekan yang ditanyakan oleh Caca.

"Iya itu."

"Ca, aku nggak apa-apa. Ini udah cukup kok."

"Nggak apa-apa gimana? Darah kamu keuar lima liter masih bilang nggak apa-apa?" Suster dan dokter yang tadi memeriksa Lingga saling lirik saling bertelepati untuk bisa kabur dari ruangan yang sama dengan gadis freak yang tengah panik itu.

"Ca, ini beneran nggak apa-apa. Dan, dokter saya udah baik-baik aja, terima kasih." Dokter itu mengangguk dan pamit dari ruangan sebelum wajahnya panas karena terus ditatap Caca dengan mata galak.

"Udah nggak usah liatin dokternya kayak gitu, aku cemburu." Dalam supersekian detik Caca kembali memberikan atensinya pada Lingga.

"Apanya yang bisa kamu cemburuin dari si botak itu? Kamu lebih ganteng." Gadis itu kini duduk di samping Lingga sambil menatap tangan Lingga yang terluka.

"Ini serius nggak sakit?"

"Nggak sayang, nggak apa-apa." Caca tampak tak yakin, tapi dia mencoba untuk tak membuat drama di sana.

"Ini semua karena aku, coba aja aku--" Lingga menghentikan ocehan rasa bersalah milik Caca, rasanya hal seperti itu tak cocok dengan kepribadian Caca yang suka menyusahkan orang.

"Nggak usah ngomong macem-macem, yang penting aku nggak kenapa-napa." Caca mengangguk terpaksa, dia yakin jika terus bersikeras bahwa ini adalah salahnya akan terjadi perang yang jika berkepanjangan status non jomblonya itu menghilang.

"Kalo dipikir-pikir sekarang sama kayak waktu dulu aku kecelakaan."

"Yang kamu ditabrak motor itu?" Caca mengingatnya dan lagi-lagi kejadian itu karena dia.

"Iya yang itu. Waktu itu kamu kabur dari rumah cuma buat jenguk aku." Caca tersenyum kecil, kilasan memori saat dia dimarahi dengan bahasa bilingual milik mama tirinya kembali berputar. "Aku dimarahin habis-habisan sama mama, mana mama ngomongnya pake bahasa inggris, jadi otak aku harus kerja bolak-balik. Dengerin omongan mama, terus ngartiin kan pusing." Caca menambah gestur memegang kepalanya seolah dia tengah pusing.

Sebagai pacar yang peka melebihi kepekaan touchscreen ponsel pintar, Lingga menyandarkan kepala Caca yang konon katanya pusing itu. "Aku yakin kamu tau kalo mama kamu bakal marah kalo kamu pergi dari rumah. Tapi dasar kamu aja yang bandel makanya pergi padahal situasinya waktu itu lagi nggak bagus." Caca tersenyum kecut, kesal karena niat baiknya tidak diapresiasi oleh Lingga.

"Aku mau jenguk kamu lho, mau ngasih kamu bubur. Kamu harusnya berterima kasih, biasanya aku dateng jengukin orang itu cuma bawa nitendo atau proyektor buat nonton. Itu perdana aku bawain orang sakit bubur." Lingga tersenyum gemas, kekasihnya itu memang selalu lain dari manusia normal lainnya.

"Iya, iya makasih ya buburnya. Anyway itu bubur panas yang kamu suapin ke aku terus pas aku bilang kepanasan kamu malah niup mulut aku bukan buburnya." Lingga mengingatkan kebodohan yang sempat dilakukan oleh Caca dulu yang berakibat pada kesalahpahaman bagi Javier.

"Lingga! Jangan dibahas itu. Waktu itu aku ... aku nggak tau. Ih jangan dibahas dong, malu!"  Tangan Caca secara reflek menutupi wajahnya yang memerah karena malu sementara itu Lingga mengelus kepala Caca. "Kenapa? Kamu lucu tau nggak sih waktu itu. Mana aku juga sempet hampir salah paham." Tangan Caca akhirnya berhenti menutupi wajah yang membuat Lingga lebih leluasa melihat mulut Caca berpaut bak anak TK yang tengah merajuk.

"Salah paham apa?"

"Aku pikir kamu mau nyium aku." Caca mulai memberikan tatapan menilai pada Lingga. "Dih ngarep," goda Caca ada Lingga.

ArcaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang