50. Berita Pagi

320 61 13
                                    

Berita pagi tak pernah lebih menarik dibandingkan kartun spongesbob kesukaan Caca pun keluarga mereka tak ada yang memaksa bocah dalam tubuh anak SMA itu untuk mematikan acara konyor si kotak kuning tersebut. Namun, untuk kali pertama seumur hidup Caca, gadis itu memilih berita pagi setelah Hana mengirimkan pesan singkat.

Mayat Farel, tahanan yang mengalami kecelakaan ketika menuju persidangan ditemukan

Caption dalam berita itu sontak membuat keluarga Caca kaget bukan main, bahkan Ceta sampai menghantikan aksi mengigit sandwich buatan mamanya. Tak cukup dengan highlines berita yang cukup menggemparkan, sang penyiar berita kembali membuat mereka kaget.

"Diduga sebelum ditemukan Farel mengalami kekerasan. Hal itu terliat dari hasil otopsi yang menunjukkan bahwa lelaki yang terlibat dalam kasus penculikan tiga teman sekolahnya itu dipukul dengan benda tumpul di bagian kepala dan kakinya."

Napas Caca bertambah berat, dia semakin pusing dengan teka-teki ini. Siapa yang melakukan itu pada Farel dan untuk apa? Apa ada orang yang membenci Farel lebih dari dia?

"Hingga berita ini diturunkan polisi masih belum menemukan pelaku peng--" Televisi dimatikan secara sepihak oleh Adipati, dia bisa melihat tensi pada ruangan yang mulai memanas.

"Aturan mulai saat ini sarapan harus di meja makan, nggak ada yang di depan TV. Sekarang balik ke meja makan."

"Tapi, Pa," protes Caca yang ingin tahu kelanjutan beritanya.

"Yang ngelawan uang jajan bakal Papa potong 50 persen." Sebuah ancaman pintar karena tak butuh menit kedua anak-anaknya membawa piring ke meja makan.

Tempat sarapan mungkin sudah kembali ke meja makan, tapi kediaman yang sempat tercipta tadi juga ikut terbawa ke sana. Ah tidak ... mungkin sekarang Caca sudah gatal untuk membicarakan hal ituuntuk bertukar pendapat. Namun, gadis itu cukup pintar untuk tak membawa itu ke meja makan karena papanya tampak tak ingin membicarakan hal itu.

"Bentar lagi Lingga ke sini," ujar Caca membuka ucapan.

"Jingga mau kencan pagi-pagi sama Lingga?" tanya mama mereka yang masih belum tahu tentang kandasnya hubungan Jingga dan Lingga.

"Sekarang Lingga pacar Caca," ujar Caca dengan nada merajuk layaknya anak kecil yang tak ingin mainannya diakui oleh anak lain.

"Wah, hari ini pasti hari mengkaget nasional." Ceta tak bisa untuk membendung keterkejutannya.

"Kamu mau ke mana sama Lingga?" tanya mamanya, agak tak ingin Caca pergi saat ada masalah seperti ini.

"Hari ini Lingga mau ngajakin olahraga pagi, sebenernya Caca agak males sih, jadi kalo mama ngelarang Caca, Caca ikhlas."

"Oh, nggak apa-apa kalo gitu, pulangnya jangan malem-malem apalagi pagi." Adipati lebih dulu memberi ijin, dia suka jika anaknya yang tak bisa dipisahkan dengan gadget dan kasur mulai bergerak.

"Pa," rengek Caca minta diselamatkan.

Rengekan Caca tak berguna karena suara mobil Lingga sudah terdengar dan dengan penuh kesadaran bapak Adipati mengusir anaknya untuk segera pergi dari ruang makan pun Caca tak pergi dnegan tangan kosong. Gadis itu membawa sandwich miliknya dan milik Papanya yang masih utuh di atas piring untuk menunjukkan bahwa dia benar-benar kesal dengan papanya.

Namun, siapa yang menduga bahwa itu semuanya hanyalah bualan Caca belaka, tak ada kekesalan dalam diri gadis itu. Dia hanya memilih cara agar tak ada wawancara pagi tentang mau kemana dan mau apa dari ornag tuanya dan kali ini dia benar-benar berhasil.

"Morning sunshine," sapa Lingga sambil bersandar di mobilnya seolah dia adalah brand ambasador dari si hitam mahal itu.

"Morning." Panggilan normal tanpa ada tambahan sayang ataupun sebagainya karena ini kali Caca pacaran dan dia agak malu untuk memberikan panggilan seperti itu.

"Berangkat sekarang yuk."

"Gue ijin dulu ke orang tua—"

"Nggak usah, gue udah bilang. Ayo." Caca memasukin mobil fisusul oleh Lingga.

"Kita mau ke mana?" tanya Lingga begitu dia siap di balik kemudi.

"Rumah Hana." Lingga agaknya tahu bahwa acara date mereka harus terganggu lagi atas berita Farel.

Lingga menelan kekecewaannya tapi tak urung dia mengijuti mau Caca karena bagaimanapun saat ini kasus Farel lebih penting. "Oke."

"Aku banyak mikir soal kasus ini." Lingga melihat Caca yang menahtkan tangannya, tampaknya gadis itu benar-benar gelisah dari ekor matanya.

"Semua bakal keungkap dan semuanya bakal kelar." Tangannya bergerak mengelus punggung tangan Caca.

"Bukan lo kan yang bunuh Farel?" tanya Caca.

"Kalo iya, kapan dan dimana? Gue bikinin alibi biar lo ada alasan." Lingga mengulum tawanya mendengar Caca yang akan melindunginya jika dia adalah pembunuhnya.

"Bukan gue."

"Bukan gue ataupun lo, mina juga nggak dia bareng kita, papa sama mama? Mereka ngurus rumah sakit Jingga, Jingga dia lagi sakit. Jay juga nggak. Ceta? Dia di kampus waktu itu. Berarti sekarang masih ada dua kadidat."

"Siapa?"

"Papa kamu sama Rasti."

***

Tangis Rasti pecah tak kala dia melihat Farel untuk mengidentifikasi mayat yang ditemukan di gorong-gorong. Tak sendiri ada sosok lelaki besar yang menatap sang anak semata wayang dengan tatapan penuh amarah dan penyesalan. Andai saja waktu itu dia langsung mengeluarkan anaknya dari penjara mungkin hal seperti ini tak akan terjadi. Anaknya mungkin masih hidup.

Santoso pergi meninggalkan ruang mayat untuk mengurus segala hal yang tertunda. Dia harus segera mencari si manusia sialan yang membuat tubuh anaknya dingin membeku.

Dengan gerakan kaku dan tegas dia mengambil ponsel pintar dan kembali menghubungi detektive swasta yang dia bayar. Dia tak peduli dengan harga yang mahal, baginya menunggu pihak kepolisian mengusut kasus ini hanya akan memakan waktu dan lagi dia butuh menyelesaikan kasus ini dengan caranya bukan dengan cara hukum Indonesia.

"Bagaimana perkembangannya?" tanyanya tanpa ada sapa apalagi senyum.

"Kami sudah menemukan CCTV yang katanya hilang. Dalam CCTV tersebut mobil truk sengaja menabrak mobil polisi." Santoso mengeratkan kepalan tanganya.

"Siapa? Siapa bedabah itu?!" teriaknya.

"Nino." Bukan sang detektif yang menjawab melainkan Rasti. Gadis itu seolah yakin bahwa pelaku semua ini adalah Juan dan Jingga.

"Benar, Bos. Nino yang melakukannya."

"Bocah sialan!" Ponsel pintar puluhan juta kini terdampar di lantai dengan keadaan mengenaskan.

"Saya akan membuat dia membayar semua yang dia lakukan pada Farel," janji Rasti.

Gadis itu memang kecewa karena Farel lebih mencintai Lingga dibanding dia. Namun, rasa itu tak akan luntur begitu saja apalagi Rasti perlu orang untuk dia persalahkan atas semua ini. Entah itu Lingga, Nino ataupun Jingga.

"Apa yang akan kamu lakukan pada Nino?" tanya Santoso pada si anak SMA ini.

"Saya akan buat Nino ataupun Lingga kehilangan orang yang mereka cintai." Rasti ingin membalas keduanya. Nino karena membuat jiwa Farel lepas dari raganya sementara Lingga yang membuat cinta Farel tak bisa sampai pada diri Rasti.

"Kamu akan menghabisi Jingga?" tanya Santoso.

"Bukan Jingga, tapi Caca."

***

Ada yang tau nggak kenapa Rasti milih Caca? Padahal Juan kan pacarannya sama Jingga. Kalo gak tau fix kalian harus baca dari awal lagi.

ArcaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang