32. Bayangan

543 136 28
                                    

Mata Lingga terus tertuju pada Caca yang sedang sibuk melakukan cap cip cup untuk menentukan makan siang apa yang harus ia makan karena entah mengapa hari ini Caca ingin makan segalanya. Sayangnya, perutnya sudah diisi banyak makanan sejak pelajaran ketiga.

Lingga terus melihat Caca bukan tanpa alasan. Lelaki itu merasa bahwa Caca menghindarinya sejak pertanyaannya kemarin. Buktinya gadis itu tiba-tiba memilih duduk bersama Vino seolah-olah gadis itu menolak untuk ia jaga. Namun, Lingga tak pernah tahu bahwa kepindahan Caca bukan karena itu.

Caca pindah murni karena tempat duduk di samping Vino sangat strategis untuk menyalin PR tanpa ketahuan. Selain itu Vino juga sempat berjasa dalam kehidupan percintaannya dengan Javier walaupun hanya membantu membantu mereka ciuman, tapi Vino berhak mendapat  apresiasi atas kerja kerasnya. Jadi, Caca membawakan berbagai jenis jajan kepada Vino. Begitulah kesalahpahaman Lingga terjadi.

"Udah gue pesenin, ayo." Caca ditarik oleh Javier untuk mengikutinya duduk.

Jangan ditanya bagaimana keadaan hati Caca. Orang yang ia sukai sejak SMA kini memesankan makan. Bayangkan seorang hp esia hidayah yang hidup bak pertapa tiba-tiba perhatian padanya. Bukankah ini kemajuan yang luar biasa.

"Wuih, pasangan baru, pasangan baru." Vino heboh menyambut Caca dan Javier membuat teman-temqnnya bertanya-tanya apa yang membuat lelaki itu menjadi seberisik ini.

"Diem kampret!" Caca mengeplak kepala Vino, membuat si pemilik kepala mengasuh kesakitan.

"Gue nggak salah, 'kan?"

"Salah!" Caca kembali menjawabnya dengan begitu percaya diri bahkan Javier agak kaget Caca menyangkalnya. Namun, bagaimanapun Javier akan mempertimbangkan gengsinya, jadi lelaki itu memilih duduk dan memulai menyantap makanannya.

"Kok bisa? Bukannya kalo udah ciuman biasanya langsung jadian?" tanya Vino yang tentu menimbulkan huru hara di meja mereka, terutama Javier yang langsung tersedak dan sebagai calon pacar pengertian Caca mengambil minum milik Yogi dan memberikannya kepada Javier.

"Siapa yang ciuman?"

"Mereka?" tanya Bianca dan Hana dengan heboh sementara Mina hanya menyimpan senyum, turun bahagia dengan kemajuan hubungan temannya.

"Pasti Caca yang nyosor duluan." Yogi berspekulasi bahkan sejak awal lelaki itu tak kaget sama sekali.

"Lo pikir gue cewek apaan?"

"Bar-bar!" jawab Yogi yang tanpa menunggu lama mendapatkan beberapa pukulan manja dari Caca.

"Sakit anjir! Kayak gini dibilang nggak bar-bar. Jay, jangan mau sama dia." Caca langsung berhenti memukul Yogi dan kembali duduk bak bangsawan terhormat.

"Ehm, Jay, itu tadi bukan gue. Gue aslinya dua orang. Itu tadi bukan gue. Gue aslinya kalem dan istriable banget." 

"Makan." Javier menunjuk makanan Caca dan tak berniat menyanggah ataupun membenarkan ucapan Caca yang tentu hanya kebohongan belaka.

"Jadi, kalian udah—"

"Iya dan nggak." Javier kali ini ikut berbicara, tapi bukannya menatap, Hana yang bertanya, tapi malah menatap Lingga yang sejak awal sudah memandang ke arah Caca.

"Maksud lo?" tanya Hana makin tak sabar untuk mengkonfirmasi hubungan Caca dan Javier.

"Bener kami ciuman. Tapi, kalo untuk jadian nggak." Hana dan Bianca menggebrak meja secara bersamaan. Rasanya menyebalkan ketika Javier tak menjalin hubungan dengan Caca bahkan setelah mereka ciuman.

"Jangan bikin malu! Makan aja." Caca memberi kode pada Hana dan Bianca agar tak memulai drama.

"Tapi—"

"Han, Bi. Makan aja." Ketika Caca tak begitu didengar, maka di situlah peran Mina.

"Jingga, lo mau nasi goreng nggak? Gue mendadak nggak pengen makan nasi goreng." Terus terang jawaban Javier tadi membuat Caca sedikit kecewa juga hingga merelakan nasi goreng dan menukarnya dengan bakso Jingga yang masih belum tersentuh.

"Jay, beliin itu buat lo." Jingga merasa tak enak, apalagi Javier tampak tak suka dengan acara tukar menukar makanan yang digagas oleh Caca.

"Nggak apa-apa kan Jay? Lagian ini nggak kayak lo beliin pacar lo." Teman-teman Caca menyemburkan tawanya atas ucapan Caca yang membalas Javier.

"Mampus!" seloroh Bianca.

"Nggak jawab berarti nggak apa-apa." Seperti biasa Caca hanya menyimpulkan apa yang ada di otaknya.

"Tapi—"

"Kalo Jingga nggak mau. Tuker sama makanan gue." Lingga mengulurkan baksonya dan hampir mengambil makana Caca, tapi Jingga mengambilnya lebih dulu.

"Gue yang makan."

Jingga memakan nasi goreng Caca, tapi baru sesuap gadis itu langsung memegang dadanya seolah dia baru saja makan racun.

"Ngga! Lo kenapa?" tanya Caca panik, apalagi setelahnya Jingga tampak sulit bernapas.

"Tolong! Panggil ambulan atau dokter apapun tolong!"

-o0o-

Caca berdiri di depan ruangan tempat Jingga dirawat dengan raut khawatir yang begitu kental. Wajah gadis itu begitu pucat hingga Mina khawatir jika Caca tiba-tiba pingsan.

"Ada seafoodnya." Yogi mengingatkan Caca dan Mina bahwa mungkin itu karena reaksi alergi Jingga.

"Coba aja gue nggak ngasih makanan itu ke Jingga."

"Udah, lo nggak tau kalo itu ada seafoodnya." Mina kembali mencoba menenangkan Caca yang terus merasa bersalah.

"Kalo ada yang perlu disalahin itu gue. Gue nggak ngasih tau dulu kalo itu nasi goreng seafood."

"Jingga nggak ada alergi seafood." Semuanya langsung menoleh ke arah Lingga.

"Jingga alergi seafood. Dia pernah kayak gini waktu SD." Vino ikut berbicara.

"Dia pernah cerita kalo dia suka banget sama seafood. Bahkan saking sukanya dia pelihara kepiting biar bisa dimakan kapan aja." Para sahabat kecil Caca langsung menoleh ke arah Caca.

"Itu Caca bukan Jingga." Vino akhirnya mengungkapkan kebenarannya.

"Nggak. Jingga sendiri yang bilang."

"Itu Caca." Mina memotong ucapan Lingga. Sementara Lingga kembali teringat pada ucapan Caca dulu.

"

Buku yang ada di meja lo, itu punya gue. Gue yang ngasih ke lo. Itu bukan Jingga, tapi gue. Dan ini hukuman buat Jingga yang make cerita gue buat deketin lo."

"Yang pelihara tikus itu juga Caca?"

"Kok lo tau?" tanya Yogi, tapi itu malah membuat beban di kepala Lingga meningkat.

"Jingga cerita kalo dia yang pelihara tikus." Ucapan Lingga membuat semua orang di sana bertanya-tanya apa maksud itu semua.

"Semua yang dia ceritain yang katanya tentang dia ternyata Caca dan gue suka sama dia karena semua ceritanya. Yang ternyata itu semua adalah Caca."

Tak ada mulut yang terbuka, tapi mereka memiliki pemikiran yang sama. Lingga tak mencintai Jingga dengan murni. Lelaki itu mencintai Jingga karena bayangan Caca yang digunakan Jingga.

Hal itu tentu membuat Javier berpikir keras. Jika bayangan itu menjadi sosok nyata bukan tak mungkin jika Lingga akan berpaling dari Jingga dan menuju Caca. Di samping itu melihat kedekatan antara Caca dan juga Lingga bukan tak mungkin Caca berpaling. Sekarang Javier harus bagaimana?

Belum sampai Javier mengorganisir pikirannya tentang Lingga, Jingga dan Caca. Seseorang tiba-tiba datang dan menampar Caca.

"Mama," lirih Caca.

ArcaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang