45. Sidik Jari

361 87 21
                                    

Jantung Lingga hampir copot ketika ia melihat Caca pingsan untuk kesekian kali. Ada banyak skenario buruk di otaknya begitu melihat Caca tersungkur dengan mata terpejam hingga ia tak berpikir hal lain lagi selain mengangkat tubuh Caca untuk dibawa ke UKS.

Namun, rasa khawatir yang membumbung itu berubah jadi kemarahan yang amat ketika Caca terbangun dengan wajah cengengesan ketika dokter UKS pergi. Jantung Lingga hampir berhenti karena khawatir, tapi manusia yang dikhawatirkan malah cengengesan tak bersalah.

"Lucu? Lo bikin gue panik dan ternyata itu semua cuma lelucon lo?!" Vino dan Yogi melipir pergi dari UKS tak ingin terlibat dalam pertengkaran Caca dan Lingga. Cukuplah mereka jadi penonton lewat jendela UKS.

"Ngga, lo marah?" tanya Caca yang seharusnya sudah tahu bahwa Lingga memang sedang marah.

"Lo masih bisa tanya? Lo tau jantung gue rasanya mau copot denger lo pingsan lagi dan lo cuma main-main! Lo keterlaluan tau nggak sih Ca."

Dalam tahap ini Caca tak memiliki argumen kuat untuk membuatnya terhindar dari kemarahan Lingga. Namun, jangan lupa bahwa ia adalah Caca. Satu cara tak berhasil maka ia akan menggunakan cara paling ampuh yaitu menangis.

"Maafin gue," cicitnya bersamaan dengan air mata yang merayap di pipinya.

"Gu ... gue cuma ma ... mau ba ... wa bukti aja." Bahu gadis itu bergetar mengiringi tangisan palsunya.

"Gu ...e nggak bermaksud bikin lo khaaaaa—" Caca tak meneruskan ucapannya karena tangis kerasnya mendahului dan itu jelas membuat Lingga panik.

"Udah-udah jangan nangis ya." Lingga mengusap air mata Caca kemudian mengambil tisu untuk membantu Caca membersikan ingus yang ikut turun akibat akting menangisnya yang luar biasa.

"Lo mayah." Caca masih mempertahankan air matanya untuk menarik simpati Lingga.

"Gue nggak marah. Udah-udah cup-cup. Gue nggak marah." Lingga mengelus-elus kepala Caca kemudian memeluk gadis itu. Sementara Caca yang ada di pelukan Lingga tersenyum menang. Memang menangis adalah senjata yang ampuh untuk menghadapi lelaki macam Lingga.

"Gila si Caca, keren banget," puji Vino pada sahabatnya yang bisa meredakan amarah Lingga dalam sekejap.

"Kenapa emang si Caca?" tanya Bianca yang datang bersama Mina.

"Tuh." Yogi menunjuk ke dalam UKS yang sedang ada adegan pelukan.

"Ck, gatau kita lagi buru-buru apa?" kata Bianca kemudian membuka pintu UKS dan itu menjadi tanda bahwa adegan pelukan itu harus segera selesai.

"Pelukannya di-pending dulu. Sekarang ini gimana urusannya?" tanya Bianca sambil menunjuk tas Caca.

"Gue diijinin pulang. Suratnya ada kan?" tanya Caca pada Lingga yang masih memerah begitu sadar bahwa ia tadi memeluk Caca.

"Ngga," panggil Mina untuk menarik kembali Lingga dari awang-awang.

"Ada. Suratnya ada. Tadi ibunya bilang—"

"Gue denger semuanya kok. Gue telpon Bang Ceta aja."

Caca mengambil ponselnya dan menghubungi sang kakak tiri. Tak butuh waktu lama Ceta mengangkat telpon dari sang adik kesayangannya.

"Lo jangan kaget, gue nggak sakit. Gue cuma pura-pura sakit biar bisa pulang. Jadi, bisa lo jemput gue?" tanya Caca tanpa memberikan salam lebih dulu kepada Ceta.

"..."

"Gue nggak nakal. Ini ada masalah dan gue harus keluar sekolah buat nyelesaiin masalah ini."

"..."

ArcaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang