39. Kamera

409 95 17
                                    

Kepergian Javier membuat Caca bisa bernapas dengan tenang. Adanya Javier membuat kepalanya penuh dengan lelaki itu dan rasa sakit. Bagian terburuknya adalah otak gadis itu mengajak hatinya untuk ikut merasakan sakit. Mencintai tak selalu menyenangkan.

"You okay?" tanya Lingga pada Caca yang diam saja.

"Kepala gue masih nyut-nyutan."

"Nggak. Maksud gue soal Javier."

"Oh, i am fine." Jawaban i am fine seolah menjadi template Caca pada setiap pertanyaan apakah gadis itu baik-baik saja.

"You know Ca. I am fine lo bisa bikin lo masuk neraka." Caca mengerutkan dahinya, ucapan Lingga terlalu random.

"Maksud lo?"

"Lo bohong. Kebohongan lo yang terus bilang 'i am fine' padahal lo nggak baik-baik aja udah banyak Ca. Mungkin kalo dikumpulin udah cukup buat masukin lo ke neraka." Caca tertawa getir, bagaimana seorang Lingga yang baru muncul kurang dari satu semester mengatakan hal seolah lelaki itu tahu segalanya tentang Caca.

"Terus gue harus jawab apa? Kalo gue jujur gue males jawab pertanyaan yang lain."

"Kalo lo jujur sama gue, gue nggak bakal nanya kenapa lo nggak baik-baik aja. Jadi, jujur sama gue." Caca lagi-lagi tertawa, ia merasa apa yang dikatakan oleh Lingga aneh. Dia belum pernah mendengar orang mengatakan itu padanya.

"Terus, kalo gue ngasih tau lo apa yang gue rasain lo mau apa?" tanya Caca, dia penasaran bagaimana cara Lingga akan menghiburnya.

"Lo yang milih. Lo mau makan, belanja—"

"Lo mau bayarin?" tanya Caca penasaran.

"Iya. Kebetulan uang papa gue banyak. Cukup buat bayarin lo."

Lingga benar-benar membuat Caca tak habis pikir, lelaki itu memiliki sesuatu yang membuatnya heran dengan jenis perhatiannya. Andai saja Javier seperti itu ah tidak, tak seharusnya Caca membandingkan keduanya.

"Kalo duit lo habis? Gimana cara lo hibur gue?" tanya Caca.

"Ehm, peluk?"

"Peluk?" Caca membeo.

"Gue bakal meluk lo kalo lo ngerasa nggak baik-baik aja. Lo bebas mau nangis di pelukan gue, gue nggak bakal protes ataupun ganggu lo nangis."

Caca sungguh iri pada Jingga yang pernah merasakan kehangatan seorang kekasih seperti Lingga. Jika saja Javier sehangat Lingga mungkin hati Caca tak sedingin sekarang.

"Well, makasih. Tapi, gue nggak pake tiga opsi itu dulu. Gue emang nggak baik-baik aja, tapi ini masih endurable."

"Are you sure?" tanya Lingga.

"No. I am not sure, tapi untuk sekarang emang gue nggak mau nangis." Lingga memandang Caca dengan tatapan tak percaya, ia masih yakin bahwa Caca tak baik-baik saja.

"Kenapa lo liatin gue kayak gitu? Serius gue nggak apa-apa. Ntar kalo gue kenapa-kenapa gue bakal dateng ke lo dan minta lo beliin makanan ... atau minta pelukan. Jadi, lo siap-siap."

"Gue selalu siap." Akhirnya mata khawatir Lingga bisa berubah setelah Caca mengatakan itu semua.

"Anyway soal kecelakaan gue, lo yang nemuin gue pertama kali?" tanya Caca mengalihkan topik.

"Seperti yang dibilang Hana tadi, Jingga tiba-tiba nyuruh gue nyari lo dan pas gue nyari lo ada anak yang teriak minta tolong. Lo curiga sesuatu?" tanya Lingga karena dia pun mencurigai bahwa itu semua bukan murni kecelakaan.

ArcaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang