"Kak Bim!" seru seorang pemuda tampan yang tiba-tiba membuka pintu lalu masuk ke sebuah ruang kerja seorang pria.
"Al? Sama siapa?" tanya pria dengan setelan jas slimfit warna hitam berpadu dasi warna merah yang terlihat pas melekat di badannya. Kertas-kertas yang tadi dia tekuri, kini dia abaikan lalu berjalan ke lemari es yang ada di kantornya. "Mau minum apa?"
"Ntar aja, gampang. Nunggu Bunda dulu."
"Sama bunda kamu? Mana orangnya?"
"Masih di lobi, nunggu seseorang katanya." Al menjeda kalimatnya sambil menelan saliva, "melihat Kak Bim minum, Al jadi ikutan haus. Sini lah minta!"
"Dasar bocah!" Bima mengulurkan sekaleng minuman isotonik di botol warna biru pada anak laki-laki dari Mayang Senja, kakaknya, kemudian duduk di sampingnya. Memang, seharusya pemuda itu memanggil Bima dengan sebutan 'om'. Tapi karena usianya dengan bunda Al itu terpaut tiga puluh tahun, dan lebih pantas sebagai anak dari pada seorang adik, makanya oleh anak-anak kakaknya, Bima dipanggil 'kakak' bukan 'om'. "Siapa yang bunda kamu tunggu?" tanya Bima.
"Katanya sih, anak sahabatnya. Kak Bim, ingat sama Om Reksa, nggak? Yang tinggal sekampung dengan nenek buyut."
Bima nampak sejenak berpikir tentang satu nama yang terdengar tak asing itu. "Yang anak dari pengasuh bunda kamu waktu bayi?"
"Nah, betul!"
"Hubungannya apa sama lo ke sini?"
"Al nganter Bunda lah! Sedangkan tujuan Bunda ke sini itu apa, nanti tanya sendiri ke orangnya. Ada dua hal yang sedang Al tebak yang jadi maksud Bunda. Pertama, dia mau marah karena Kak Bim susah ditemui atau diajak ngumpul bareng akhir-akhir ini. Yang kedua, Bunda mau nyariin istri buat Kak Bim!"
"Anak kecil sok tahu."
Al hanya tertawa saja perihal kata-kata yang omnya itu lontarkan. Sedangkan pemilik banyak hotel bintang lima yang tersebar di Indonesia itu justru sibuk berpikir tentang perkataan pemuda yang dia katai anak kecil tadi.
Bukan hal baru sebenarnya. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Bima memang menjauhkan dirinya dengan ikatan spesial dengan wanita. Tak heran jika kakaknya selalu menanyainya kapan menikah padahal usianya sudah cukup untuk meminang anak gadis orang. Alasannya adalah takut ditinggalkan, seperti ayahnya dulu. Sejak kematian ibunya, sang ayah begitu patah hati dan akhirnya hanya bertahan enam bulan menemaninya di dunia lalu menyusul ibunya ke alam lain dan menjadikannya yatim piatu.
Meski hal itu sudah lama berlalu, dan kini usianya sudah 24 tahun, belum ada sedikit pun terbersit keinginan di hatinya untuk menikah. Padahal semua adik angkatnya sudah menikah dan berbahagia dengan keluarga kecil mereka.
"Kak? Kok malah bengong? Jadi mikir, 'kan? Atau, takut di marahi Bunda?" tanya Al.
"Kapan kakakku itu bisa marah sama adik kesayangannya ini? Dia selalu punya cara lain mengganti kata marah itu dengan hal lain."
"Nah, siapa tahu kali ini justru itu yang sedang Bunda rencanakan. Kak Bim nggak ingat? Bunda di bawah lagi nunggu anak sahabatnya. Al yakin, pasti cewek. Pasti akan ada hubungannya sama Kak Bim, karena ketemunya di lobi hotel ini."
Bima tertegun, ada benarnya perkataan keponakan laki-lakinya ini. Apa dia akan dijodohkan atau semacamnya? Jangan sampai hal itu terjadi, karena jika adik angkatnya yang berjumlah lima orang sampai tahu hal ini, sudah pasti mereka akan menertawainya secara berjamaah.
"Kok Bunda lama, ya?" gerutu pemuda bernama Al Fatih itu.
Semoga yang ditunggu Mbak Mayang nggak jadi datang.
"Assalamu'alaikum." Suara seorang wanita yang sudah sangat dihafal oleh Bima, baru saja memasuki ruangannya. Seketika, pria itu menelan ludahnya gugup. Karena apa yang dia doakan dalam hati barusan tidak terkabul. Sang kakak yang berusia lima puluh tahun lebih itu sudah masuk dengan senyum khasnya dan diikuti seorang wanita bergamis di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubungan Bodoh ✔ LENGKAP
RomanceDisarankan sebelum membaca novel ini, lebih baik membaca lapak Romantic Rhapsody dulu ya ... BLURB Atas permintaan sang kakak, Bima Andika Tama harus menerima seseorang yang dia benci di masa remajanya untuk menjadi sekretarisnya. Wanita itu bera...