Panggilan Dari Kampung

2.3K 338 10
                                    

Pesawat yang Bima dan Kinan tumpangi menuju Jogja telah mendarat di bandara Adi Sucipto sejak sepuluh menit yang lalu. Tapi keduanya belum beranjak dari bandara akibat Kinan yang mabuk perjalanan udara. Ini pertama kalinya dia menaiki burung besi raksasa itu.

"Kenapa nggak bilang kalo kamu mabuk perjalanan?" Bima duduk sambil melipat tangannya di atas perut sambil melirik Kinan yang sedang duduk di sampingnya. Sekretarisnya itu sedang menghidu minyak kayu putih dalam-dalam untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan pada tubuhnya.

"Saya juga nggak tahu, Bos. Ini pertama kalinya saya naik pesawat." Wanita itu bermuka pucat, menahan gejolak di perutnya. "Rasanya mau muntah, Bos. Tapi kalo ke kamar mandi takutnya nggak kuat menahannya terus keluar di jalan." Untuk berbicara pun rasanya tak karuan rasa di perutnya.

"Lalu? Kita akan duduk di sini sampai kapan?" Bima terlihat tak sabar, kemudian melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.

Kinan memukul tengkuknya sendiri, lalu berpindah memijit pangkal pelipisnya. "Pusing!" katanya singkat.
Untuk beberapa detik berlalu hanya hening merajai di antara bos dan sekretaris itu.
"Bos?" Kinan memanggil Bima dengan matanya yang terpejam.

"Hmmm," gumaman yang terdengar kasar.

"Pergilah duluan. Saya rasa, saya butuh berdiam diri sebentar. Kepala rasanya berputar-putar. Jadi, Bos pergi saja duluan. Saya akan menyusul dengan taksi nanti. Maafkan saya juga yang malah nggak berguna begini."

Bima berdiri, "aku antar ke toilet. Berdiri perlahan!"

Kinan tertegun melihat Bima yang menjulang di depannya. "Hmm ... Baiklah, Bos."

Kinan melakukan apa yang Bima minta meski awalnya ragu, lalu mengikuti atasannya yang sudah mulai melangkah sambil menarik kopernya. Sedangkan Kinan menjinjing tas ranselnya dengan lunglai.

"Kinan!"

Sebuah suara bariton memanggil wanita pucat itu dari arah kanannya. Dengan lesu Kinan pun menoleh, begitu pun Bima yang merasa aneh saat seseorang mengenali sekretarisnya di kota asing itu.

"Benar. Kamu benar, Kinan!" Seorang pria berseragam tentara Indonesia dengan ransel  loreng besarnya, tengah tersenyum padanya. Pria itu berbadan tinggi dan berbadan gelap, juga model rambut khas seorang prajurit.

"Rama?" Kinan merasa tak percaya akan pertemuan tak sengaja antara keduanya. Terbaca seperti itu dari wajah alami tanpa make up miliknya.
"Nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini. Ke Jogja ngapain?" tanya Rama dengan raut bahagia yang tak terbantahkan. Siapapun yang melihatnya akan tahu sebahagia apa pria itu, termasuk Bima.

"A-aku sedang bekerja," jawab Kinan sungkan.

"Kata ibu kamu, kamu kerja di Jakarta?" Rama mulai mendekat pada Kinan, tanpa sadar bahwa ada seorang pria yang tengah berdiri meneliti interaksi mereka dengan wajah menyeramkan.

"Iya, begitu lah." Kinan tersenyum aneh. Rasa pusingnya kian menjadi saja. Ini bukan waktunya basa basi. Bagaimana jika isi perutnya keluar di situ?

"Hei! Jadi ke toilet, tidak?!" Bima bertanya kurang bersahabat.

Kinan mengangguk, "maaf ya, Rama. Aku butuh ke toilet sekarang." Kinan mulai mengikuti Bima kembali dengan langkah cepatnya.

"Katanya pusing. Tapi malah reunian," gerutuan Bima memang pelan, tapi Kinan masih bisa mendengarnya. Wanita itu tak punya tenaga untuk membalasnya jadi dia hanya mengunci mulutnya rapat. "Masuklah. Aku tunggu di sini."

Kinan mengangguk lalu melangkah masuk dengan segera. Dia sudah sangat tidak tahan dengan pemberontakan isi perutnya.

***
Lima belas menit berlalu, dan Kinan pun keluar dari toilet lalu berjalan ke arah Bima.

Hubungan Bodoh ✔ LENGKAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang