Mereka sudah berkendara selama tiga jam, jika tak terkendala suatu apapun, dua jam lagi mobil yang Bima kendarai akan tiba di perkampungan di mana keluarga mereka tinggal. Sejak pemberhentian pertama mereka untuk menunaikan sholat Isya' tadi, kuda besi itu belum berhenti lagi. Bahkan mengobrol pun tidak. Keheningan di antara Kinan dan atasannya hanya terisi dentingan lagu dari pemutar musik di mobil hotel yang Bima pinjam itu.
Sesekali Bima akan melirik sekretarisnya lewat kaca spion di atasnya. Jika terlihat masih bernafas maka pria itu akan merasa lega, entah kenapa. Dia atasan, tapi bak seorang sopir saja karena Kinan duduk di belakang. Sejak berjam-jam lalu wanita itu hanya melamun dan bernafas saja. Bima rasa hanya dua hal itu saja yang Kinan lakukan untuk mengisi jarak tempuh yang sedang mereka kikis.
Wajahnya pucat, apa dia sakit?
"Hei! Apa kamu tidak ingin turun untuk ke toilet atau apa?" tanya pria itu galak. Hingga Kinan tertegun dan menoleh padanya. "Kamu mau muntah lagi, tidak?" tambah Bima masih sama dengan nada tak ramahnya.
"Saya lemes banget, Bos."
Bima menepikan mobil, ada sebuah warung tenda di tepi jalan itu. Setengah berbalik ke belakang, Bima memperhatikan Kinan yang justru menautkan alis kala menatapnya."Kenapa kita berhenti, Bos?" tanya Kinan.
Benar, dia lagi sakit. Wajahnya udah kayak mayat aja itu. Apa sulitnya bilang kalo lapar?
"Aku lapar. Temenin makan! Kalo nggak mau, aku nggak mau nyetir lagi. Kita di sini saja sampai besok." Bima menjelma menjadi tukang ancam, agar Kinan tak ada pilihan lain selain turun dan mengisi perut.
Bibir pucat Kinan berucap lirih, "baiklah. Ayo!" Tapi Kinan terlihat susah payah mengangkat tubuhnya sendiri yang bersandar penuh pada jok mobil tempatnya duduk.
"Kamu kelihatan malas gitu. Kalo nggak ikhlas temenin, mending nggak usah. Aku turun sendiri saja." Bima hendak membuka pintu di sampingnya namun kata-kata lirih Kinan menghentikannya.
"Saya hanya lapar, Bos. Sejak pagi belum makan."
Bima terdiam beberapa detik, "bodoh!" dengusnya. Membuka pintu lalu dengan cepat melangkah turun dan memutari mobil warna hitam itu. Pintu di sebelah Kinan lah tujuannya, lalu membukanya.
"Perlu aku gendong?" Pertanyaan Bima membuat Kinan melotot tak percaya."Kenapa saya harus digendong?"
"Katanya lemas, tadi? Kalo bisa sendiri, turun sekarang! Kemudian makanlah sesuatu, aku nggak mau menjadi sopir pembawa jenazah, ya."
Sepertinya perumpamaan yang Bima pilih terlalu berlebihan. Kinan pun turun segera dengan setengah kesal.
Tak lama kemudian kedua orang itu sudah duduk berhadapan di salah satu meja yang disediakan oleh pemilik warung tenda yang menjual soto daging sapi dan ayam goreng."Mau pesan apa, Mas?" Seorang wanita paruh baya menghampiri meja mereka.
"Dua teh hangat, Bu. Yang satu tanpa gula," jawab Bima, lalu berpindah pandang pada Kinan yang masih terlihat kesal di depannya. "Makan soto, ya?"
"Anda nanya siapa?" tanya Kinan tanpa repot menoleh pada si penanya.
Sadar bahwa sekretarisnya itu sedang kesal, Bima putuskan sendiri untuk memesan dua mangkok soto untuk mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubungan Bodoh ✔ LENGKAP
RomanceDisarankan sebelum membaca novel ini, lebih baik membaca lapak Romantic Rhapsody dulu ya ... BLURB Atas permintaan sang kakak, Bima Andika Tama harus menerima seseorang yang dia benci di masa remajanya untuk menjadi sekretarisnya. Wanita itu bera...