Kepastian

134 13 0
                                    

Pagi hari yang dinanti, oleh Raga yang nyaris tidak tidur. Karena dia begitu ingin memastikan apa yang dia tunggu selama ini, semoga telah Allah berikan.

"Rain, bangun lah." Tangan kekarnya mengusap pipi istrinya yang masih terlelap. Subuh belum datang, tapi pria itu ingin memastikan dulu sebelum pergi ke masjid untuk menunaikan kewajibannya sebagai muslim.

Raina hanya menggeliat, lalu bertanya tanpa membuka mata. "Jam berapa, Ga?"

Bukannya menjawab, Raga malah tersenyum lalu kian mendekati wajah bangun tidur itu kemudian mengecupinya.

"Hentikan, Raga! Kamu membuatku geli." Pekikan tawa kecil dari Raina menghangatkan hati pria yang kini tengah penasaran setengah mati itu.

Raga berhenti lalu membantu istrinya bangun. Setelah itu mengangkat tubuh Raina yang dia tahu kini terasa lebih berat dari biasanya. "Kamu lebih berat, Rain."

"Kenapa aku digendong?" Raina mengerjap mencoba membuka mata sepenuhnya. "Jika berat turunkan saja, Pak Dosen."

"Tidak. Kita harus segera memastikan sesuatu." Langkah Raga mengatakan betapa saat ini dia tak sabaran.

Kamar mandi sudah mereka masuki, dan Raina belum teringat peristiwa semalam yang membuat suaminya kini penasaran. Tentang kata telat yang dia utarakan dengan hati berdebar kuat.

"Buruan pipis!" Perintah Raga setelah tubuh Raina dia turunkan, dan sebuah wadah kecil transparan dia ulurkan.

Raina ternganga, dan nyaris bertanya benda kecil itu untuk apa. Tapi ... "cepatlah. Aku ingin segera tahu," Raga mengusap perut Raina, "udah ada isinya belum?"

Kelakuan pria yang berjuluk kulkas itu membuat Raina tertawa kecil lalu melingkarkan tangannya pada leher suaminya. "Jangan kecewa, andai belum ada."

"Tidak akan." Senyuman dia ukir indah di wajah tampannya. Lalu mengusap surai hitam wanita yang sudah dia cintai sejak masih berseragam putih merah itu. "Itu bukan kuasa kita."

Hati Raina berdesir dan melepas tangannya setelah memberi suaminya satu kecupan di pipinya. Langkah kakinya diiringi getaran hebat di hatinya. Genggaman erat pada wadah kecil seolah menjadi penguat langkahnya.

Beberapa menit berselang, Raga yang tak sabaran memanggil istrinya. "Rain? Udah belum?"

"Udah!" sahut Raina dari dalam sana.

"Keluar lah!"

"Tapi, Ga. Gimana kalo negatif?"

"Ya, nggak gimana-gimana." Jawaban Raga membuat Raina keluar dari toilet yang bersekat kaca buram dengan tempat Raga berdiri. Menenteng wadah kecil berisi cairan berwarna kekuningan. Wajah wanita itu terbit senyum malu-malu.

"Aku aja!" Raina mengambil alih benda kecil yang Raga keluarkan dari bungkusnya. Wanita itu merasa sungkan jika suaminya yang melakukan itu. Raga pun sebenarnya tak keberatan, tapi pipi merah Raina membuatnya mengalah. Setelah benda penguji kehamilan itu dimasukkan ke dalam wadah, Raga raih tubuh istrinya lalu mendekapnya dari belakang.

"Mendebarkan sekali rasanya," bisiknya di telinga sang istri. "Jangan sedih andai dia belum ada." Lagi-lagi dia katakan, bahwa Raina tak perlu khawatir akan apapun.

"Hmm," Raina mengangguk.

"Apa kita perlu pergi bulan madu lagi?"

Raina terkekeh. "Buat apa?"

"Usaha andai ternyata belum rejeki."

"Kita bukan pengantin baru, Raga. Lagi pula usaha tak harus ke mana-mana. Sukma sedang dalam masa pemulihan, juga Mama dan Papa belum kembali. Raga?"

Hubungan Bodoh ✔ LENGKAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang