Matahari terbit di pagi hari dan tenggelam ketika senja datang, setiap hari begitu selama Allah masih menuliskannya demikian. Lima hari semenjak Bima kembali ke kota pun begitu, dan Kinan melewatinya dengan banyak harapan semoga masih diberi umur hingga hari keenam besok harinya.
Malam ini tujuh hari sang ayah, rumahnya selalu ramai di setiap malamnya oleh tetangga juga kerabat. Tapi besok sudah tidak lagi. Rumah sederhana peninggalan sang ayah ini hanya akan ditinggali olehnya dan Melati, ibunya.
Suaminya?
Jangan tanyakan pria itu. Hari-harinya berkutat dengan pekerjaan pastinya. Ya, setiap hari itulah yang pria itu laporkan padanya lewat ponsel pintar baru miliknya.
Semenjak kejadian di mana terselip rindu gara-gara ponsel jadul miliknya jatuh ke air beberapa hari lalu, Bima mengutus Sean dan Sia untuk membelikan ponsel terbaru untuk istrinya itu.
"Kapan Kak Bim jemput, Mbak?"
"Nggak tahu." Jawaban bernada kecewa Kinan berikan untuk menjawab tanya Sia. "Sejak dua hari lalu, dia ada di Batam."
Sia sedikit tersenyum. Meski tanpa melihat wajah Kinan pun, Sia tahu tante iparnya itu sedang kesal.
"Kalian video call tiap hari, 'kan?" Sia masih tak menatap wanita di depannya itu, matanya lebih suka melihat tatanan kue di piring hasil kerja tangannya.
Mereka hanya berdua. Nia sedang sibuk menyiapkan bungkusan sembako yang akan diberikan pada tetangga yang datang untuk membaca tahlil dan doa untuk Reksa di malam tujuh hariannya ini.
"Iya."
"Tapi dia nggak bilang gitu kapan jemputnya?"
"Nggak. Tiap video call cuma minta temenin makan. Orang makan mana bicara banyak. Tapi sekalinya nggak aku angkat, dia memarahiku. Kakakmu itu pintar sekali mengomeli orang."
Kali ini Sia tertarik untuk menatap wajah Kinan.
"Mau aku tanyakan?"
"Nggak usah, Sia. Biarin sajalah, suka-suka dia mau jemput atau nggak."
"Kok kesal gitu? Udah kangen banget, ya?" goda Sia.
Kinan salah tingkah dan duduknya di atas dipan kayu usang itu terbaca resah.
"Kak Bim pasti jemput, kok. Tenang saja!" Sia menepuk bahu Kinan seolah memberi keyakinan. Selain percaya pada keponakannya itu, Kinan bisa apa? Tapi rasanya tidak dalam waktu dekat. Manusianya saja masih di Batam. Sebuah kepulauan yang dekat dengan negara Singapura sana, 'kan jauh dari desanya ini.
"Oh ya, kamu masih lama tinggal di sini?" Kinan mengganti topik, kiranya dia tak mau jadi bahan pembicaraan antar keduanya. Sesekali dia ingin membahas Sia. Wanita cantik yang begitu dicintai suaminya itu. Iya, begitulah yang Kinan lihat dari interaksi keduanya.
"Sepertinya, iya. Tapi jika tiba-tiba Kak Bim akan menggelar resepsi pernikahannya di Jakarta, kami akan pulang."
Sepertinya Kinan gagal merubah topik, karena lagi-lagi Sia membuatnya salah tingkah.
"Mungkin masih lama." Harap Kinan.
"Tak ada yang tahu isi kepala Kak Bim, Mbak. Dia itu kadang tidak ketebak apa maunya. Lebih suka langsung bertindak daripada hanya rencana-rencana. Terbukti 'kan saat menikahi Mbak. Benar, tidak?"
Bener banget. Dari lamaran sampai nikahan pun seperti tak ada rencana. Bahkan jarak pertemuan pertama sampai kata sah dari saksi, tak sampai seminggu.
"Siapa tahu, mau jemput Mbak Kinan pun dia nggak rencana. Dia bisa datang semaunya. Mbak Kinan jangan terkejut, andai itu benar terjadi." Sia seperti sedang menakut-nakuti Kinan. Seolah ada arwah penasaran yang akan mendatanginya ketika gelap datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubungan Bodoh ✔ LENGKAP
RomanceDisarankan sebelum membaca novel ini, lebih baik membaca lapak Romantic Rhapsody dulu ya ... BLURB Atas permintaan sang kakak, Bima Andika Tama harus menerima seseorang yang dia benci di masa remajanya untuk menjadi sekretarisnya. Wanita itu bera...