"Kata Opa, pohon jambu ini sama kayak yang di halaman rumah nenek buyut. Sengaja Opa bawa biar Oma tak perlu pulang jika ingin memakannya." Sukma berbicara sambil mengunyah jambu yang sedang dia bicarakan asal usul pohonnya. Dia sedang duduk berselonjor kaki di atas rumput di bawah pohon jambu air berwarna merah yang di sela dedaunannya terisi pancaran sinar matahari sore.
"Dulu, waktu masih kecil aku suka malu-malu mau minta. Sudah beranjak remaja, jika ikut Ayah masuk kediaman bak keraton itu langsung aja manjat dan makan langsung di atas pohon kayak sekarang." Kinan berucap riang sambil mengenang masa lalunya.
"Emang kalo makan di atas pohon akan beda rasanya ya, Mbak?" tanya Sukma sambil mendongak di mana Kinan duduk di dahan besar di atas kepalanya.
"Lebih enak!"
Sukma cemberut, "mau naik. Tapi sadar diri, aku berat. Takut pohonnya langsung tumbang kalo Sukma yang naik."
Kinan terkekeh. "Pohon ini tak selemah itu, Sukma. Mau coba? Mbak bantuin." Kinan antusias sekali kala Sukma mulai berdiri.
Tapi Sukma meragu, "nggak jadi deh." Sorot matanya berubah kepanikan. "Ada Kak Bim, Mbak! Buruan turun!"
Kinan tertular panik dan dia berlomba dengan langkah panjang suaminya yang berjalan menuju ke halaman belakang istananya, tak jauh dari rumah khusus untuk para ART yang rumahnya jauh di kampung.
Gamis yang dipakai Kinan tak akan membuat dia turun dengan mudah. Alhasil dia terpeleset dan Bima dengan sigap menangkapnya. Bukan dengan tangannya, melainkan tubuhnya yang ambruk ke tanah dan menjadi landasan bagi tubuh istrinya.
"Mas Bim, nggak pa-pa?!" Kinan berseru panik dan Sukma langsung mendekat.
"Kak Bim, nggak gagar otak 'kan?" Sukma bertanya begitu karena Bima memegangi bagian belakang kepalanya.
Pria itu sudah terduduk dan kini berganti mengusap punggungnya sambil menatap istrinya yang tersenyum.
"Apa maksudnya senyum begitu?" Pertanyaan khas Bima sekali. Tentu saja pada istrinya yang selalu membuat tekanan darahnya naik, tapi tak tega untuk memarahinya.
Kinan membuat tanda V dengan jarinya lalu berkata, "maaf, Mas."
"Kak Bim mau marah?"
Pertanyaan dari Sukma semakin membuat pria itu kesal. "Apa kalian tak bisa memakai galah atau minta ART memetiknya. Harus ya, kamu yang naik?"
"Ah iya, Kak Bim marah, Mbak." Sukma mendekat lalu memeluk lengan Kinan.
"Dia nggak marah, Sukma. Cuma khawatir istrinya lecet."
"Tapi Kak Bim deh kayaknya yang lecet. Sikunya berdarah. Sukma ambilin kotak obat dulu." Wanita itu berlari ke arah di mana tadi Bima datang.
"Aku bantu cuci lukanya, Mas."
Bima menurut saja meski nafasnya terdengar memburu, Kinan tahu suaminya itu sekuat hati menahan amarahnya. Setelah mencuci luka pada kran yang terletak tak jauh dari tempat mereka berdiri tadi, keduanya kini duduk di kursi panjang di bawah pohon mangga.
"Apa perlu semua pohon di sini aku suruh tebang biar kamu nggak manjat lagi?" Nampaknya Bima belum tuntas mengeluarkan isi pikirannya. Tapi berbuntut penyesalan karena istrinya yang biasanya pandai menjawab itu kini tertunduk dalam.
"Aku yang akan berjanji buat nggak manjat lagi. Jangan tebang mereka. Aku yang salah. Sekali lagi, maaf."
Kan? Bima makin menyesal karena permintaan maaf istrinya. "Kamu bukan anak kecil lagi Kinan." Suaranya melembut. Tapi dia berharap, Kinan benar tak akan mengulangi perbuatannya barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubungan Bodoh ✔ LENGKAP
RomanceDisarankan sebelum membaca novel ini, lebih baik membaca lapak Romantic Rhapsody dulu ya ... BLURB Atas permintaan sang kakak, Bima Andika Tama harus menerima seseorang yang dia benci di masa remajanya untuk menjadi sekretarisnya. Wanita itu bera...