Jangan Cemas

257 21 0
                                    

Kata-kata Risa yang dibumbui oleh Sukma terngiang-ngiang di benak Kinan bahkan hingga ketika dia bersiap tidur. Bima yang tengah memangku komputer jinjing di pangkuannya sambil berselonjor kaki di sampingnya, membuat wanita berambut panjang ikal itu terus saja memandanginya.

"Ada apa?" Bima bertanya tanpa mengalihkan pandangan pada pekerjaannya. Arman belum pulang, jadi dia harus memantau sendiri pekerjaannya meski sedang di rumah dan malam pun telah larut.

"Mas Bim sangat tampan."

"Eh?" Bima menoleh lalu tersenyum. "Katakan saja, aku tahu bukan wajah tampanku yang tengah kamu pikirkan. Kamu sedang menginginkan sesuatu?"

"Tidak ingin apapun. Hanya---"

Kinan meraih satu tangan Bima lalu menggenggamnya dan menjadikannya alas pipinya. "Hanya merasa beruntung bahwa pria yang menikahiku adalah kamu."

"Memangnya aku kenapa?"

"Baik hati, jujur, tidak sombong dan rajin menabung."

Bima malah tergelak, dia tahu istrinya tengah bergurau. Komputer lipat pun tak dia indahkan lagi, dia tutup lalu menaruhnya di atas nakas. Setelahnya, dia rebahkan dirinya mendekat pada bidadarinya. "Mau ngomong apa sebenarnya?"

"Aku udah ngomong tadi."

"Aku pikir bukan itu yang sedang kamu ingin bicarakan. Apa, hm?"

Kinan tertawa kecil. "Sungguh. Aku bersyukur karena pria itu kamu. Yang berjanji di depan jenazah Ayah, untuk menerima segala yang ada padaku juga menyayangiku. Bahkan termasuk Ibu dan saudaraku. Dapat di mana lagi coba suami yang kayak gini? Cuma Kinanti yang punya."

Bima menempelkan punggung tangannya di dahi sang istri, "tak panas. Tapi kenapa bicaranya ngelantur?"

"Benar, 'kan? Mas Bima cuma punyanya Kinanti?"

"Benar. Begitu pun sebaliknya. Berhenti meracau, sekarang tidur lah jika ingin ikut aku bekerja besok."

"Bagaimana kalau sarapan di sana? Kita nostalgia."

"Nostalgia? Kamu bahkan sangat tak menyukaiku waktu itu. Apanya yang mau dikenang?"

"Tapi rasanya aku tahu sekarang, ternyata sudah lama sekali aku tinggal di sini." Kinan meraba dada bidang suaminya. Lalu perlahan matanya terpejam. "Sejak kisah si gendut galak yang takut kerbau itu sering marah pada gadis si tukang mandiin kerbau di sungai, yang sering jahilin dia. Suatu hari sandal mahal si gendut itu hanyut di parit karena gadis itu. Marahnya pun kian menjadi, tapi hatinya tak tenang bahkan sampai tiba waktu dia harus pulang ke kota. Apa aku boleh tahu, kenapa bisa begitu?"

"Entahlah. Aku bukan si gendut itu."

Mata Kinan sontak terbuka lalu memicing. "Kirain bakal ngaku."

"Emangnya apa yang harus aku akui?"

"Nggak ada!" Kinan menenggelamkan dirinya dalam selimut tebalnya. Menarik nafas dalam agar ada rongga di hatinya. Apa dia sedang terbawa perasaan soal cerita-cerita Sukma tentang Bima tadi? Akhirnya dia putuskan untuk tidur saja, daripada menyangka dirinya sendiri istimewa sejak lama bagi pria yang bernama Bima itu.

"Kinan!" Bima menyeru lembut nama istrinya tapi tak ada respon selain gumaman saja. "Kamu tidur?"

"Aku sedang mencobanya."

"Tidurlah kalo begitu."

"Apa ada yang mau Mas Bima katakan?" tanya Kinan yang masih betah bersembunyi dan berharap mendengar kejujuran tentang sejak kapan perasaan untuknya ada.

"Kamu marah, Kinan?"

"Tidak. Marah kenapa memangnya?"

Bima terkekeh lalu menyusul istrinya masuk ke dalam selimut. "Aku tahu kamu kesel. Udah kebaca! Besok aja aku bakal ngaku. Sekarang mari kita tidur."

Hubungan Bodoh ✔ LENGKAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang