Bima membuka pintu, lalu mengedarkan pandang setelah selangkah masuk dan menutup pintu. Tak nampak istrinya di kamar luas bernuansa putih miliknya itu. Kemudian suara baritonnya mulai menyeru nama sang permaisuri untuk menemukan petunjuk keberadaannya.
"Kinan!" Sambil melangkah nama itu mengalun lembut di mulut pria yang baru pulang dari masjid di komplek perumahannya itu.
Lalu suara benda jatuh terdengar dari ruang ganti yang merangkap tempat menyimpan baju. Kaki Bima pun spontan bergerak ke ruangan yang bersebelahan dengan kamar mandi.
"Ngapain?" tanya yang terlontar begitu saja setelah Bima membuka pintu dan mendapati Kinan duduk di lantai.
"Jatuh dari kursi." Kinan menjawab sambil meringis dan mengusap kakinya. Selain kursi yang tergeletak di sampingnya, juga ada koper yang dia bawa dari kampung. "Nggak sakit kok, masih bisa berdiri." Wanita itu berdiri untuk meyakinkan suaminya.
Bima mendekat, memperhatikan istrinya yang mengenakan gamis warna kuning gading bermotif bunga-bunga kecil warna-warni dengan rambutnya yang masih lembab tergerai panjang.
"Mas, lihat aku-nya jangan kayak gitu." Kinan buang muka sambil merapikan rambutnya. Salah tingkah gara-gara tatapan Bima yang keterlaluan, menurutnya.
"Siapa suruh cantik?!"
Astaga. Jantung Kinan serasa langsung terjun ke perut. Seketika pikiran wanita itu terbang pada apa yang mereka lakukan semalam. Kini pipinya semerah apa, jangan ditanya. Apalagi Bima malah makin mendekat dan jarak kian terhapus.
Kinan menunduk ke bawah melihat baju yang dia kenakan. Apa karena baju yang dia kenakan? Ini adalah baju terbaiknya yang dia beli lebaran kemarin. Wanita itu jadi mendapat ide untuk menghindar karena sedang memikirkan masalah baju.
"Aku mau beresin baju-bajuku dulu, Mas." Kinan berbalik, niatnya menuju kopernya. Tapi tangannya malah dicekal oleh pria di belakang punggungnya.
"Baju-bajumu sudah tertata rapi di lemari." Kata Bima seraya memeluk pinggang ramping istrinya dari belakang.
"Oh, ternyata itu baju-bajuku?" tanya Kinan disambung tawa kecil yang terdengar aneh.
"Mbak Mayang yang mengisi lemari itu, sebagai hadiah untukmu. Baju, sepatu, tas, jam tangan dan perhiasan, semuanya untukmu. Bahkan adiknya juga untuk kamu. Mbak Mayang baik, ya? Sesayang itu dia sama kamu." Kata-kata Bima semakin terdengar berat saja.
Kinan, apa kabar?
Mendadak lemas, mendadak mulas. Jantungnya juga berdetak lebih cepat. Apa ini gejala awal sakit jantung?
"Kinan, aku akan mengajakmu berkeliling rumah kita. Tapi sebelum itu, apa keberatan jika kamu harus mengulang mandi?"
***
Kesembilan orang yang menemani Bima tinggal di rumah lima lantai itu, telah berjajar rapi di depan pasangan pengantin baru yang sedang duduk di sofa panjang berwarna hitam di ruang keluarga di lantai dua. Lima pria dan empat wanita dewasa.Bima akan memperkenalkan istrinya itu pada mereka sebelum sarapan pagi, kemudian dilanjut berkeliling rumah.
"Dia Kinan, istriku."
Kesembilan orang mengangguk sopan lalu serentak mengucap selamat pagi pada wanita yang kenapa malah malu itu. Mungkin berada pada kasta sosialnya sekarang, masih asing baginya. Dia yang orang baru di rumah itu, wajar jika dia merasa malu.
"Selamat pagi, Nyonya." salam serempak yang mengejutkan.
"Nyonya?" Kinan meringis tak enak. "Panggil Mbak aja, deh. Kayaknya lebih enak didengar. Nggak pa-pa ya, Mas?" Kinan menoleh pada pria yang menggenggam tangannya itu untuk meminta persetujuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubungan Bodoh ✔ LENGKAP
RomanceDisarankan sebelum membaca novel ini, lebih baik membaca lapak Romantic Rhapsody dulu ya ... BLURB Atas permintaan sang kakak, Bima Andika Tama harus menerima seseorang yang dia benci di masa remajanya untuk menjadi sekretarisnya. Wanita itu bera...