Bima berdiri di bawah pohon mangga yang daunnya rimbun kala senja mulai datang. Tangannya memegang ponselnya yang terus saja bergetar semenjak dia masih di pemakaman tadi, dan akhirnya panggilan itu dia jawab agar si penelfon berhenti menerornya. Bahkan bos perhotelan itu belum sempat mencuci kakinya yang dipenuhi tanah merah di pemakaman.
Sesekali Bima terlihat mengernyit lalu agak menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Sepertinya ada yang sedang memarahinya saat ini.
"Aku paham. Tapi bisa apa?" Katanya santai.
"Bos! Sebenarnya apa alasannya situ nggak bisa balik ke Jakarta dengan segera? Teganya dikau, Bos!"
"Apa liburan kamu selama sepuluh hari tidak cukup?"
"Sepuluh hari apanya? Baru delapan hari, sudah Bos paksa pulang, sedangkan Bos sendiri entah pergi ke mana?" Suara pria diujung telfon sana makin bernada tinggi saja. "Sebenarnya Bos itu ada di mana?"
"Di kampung ibuku."
"Ngapain?"
"Harus ya, asisten pengen tahu urusan pribadi atasannya? Urus saja hotel dan tamu. Kamu, aku gaji untuk itu."
"Terserah Bos sajalah!"
"Iya. Aku bosnya, jadi terserah aku. Selamat bekerja. Assalamu'alaikum."
Ponsel itu lalu Bima masukkan ke dalam sakunya setelah panggilan dari asistennya dia akhiri. Lalu dia mulai berjalan, niatnya hendak ke rumah belakang Kinan dan akan mencuci kakinya yang tak mengenakan alas kaki itu. Tapi urung kerena dia melihat keluarganya yang siap pulang di halaman rumah istrinya.
"Mbak Mayang mau pulang?" Tanya Bima pada wanita yang matanya sembab akibat terlalu banyak menangis tadi.
Mayang mengangguk, lalu menepuk bahu adiknya. "Insyaa Allah nanti malam ke sini lagi. Kamu tinggal atau ikut pulang? Setidaknya pulang dulu buat ganti baju."
Bima nampak terdiam, ada yang sedang dia pikirkan. "Apa Bima, harus pamit pada Kinan dulu?"
"Iya, beritahu istrimu." Ibram yang menjawab. "Sana! Kami tunggu di mobil."
"Cieee ... Istri. Jangan lama-lama ya, Kak Bim. Cipika cipiki aja udah cukup kayaknya. Nggak usah--" Rangga berhenti bicara kala Ara mencubit lengannya. "Apaan sih, Sayangku Ara?"
"Berhenti ngomong." Ara mengkode dengan kedipan matanya yang lucu.
"Oke."
Al keluar dari rumah lalu mendekati para saudaranya yang lain sambil menenteng kemeja batiknya yang dia lepas dan hanya menggunakan singlet putih saja. "Kita duluan aja, bareng Kakek Atma. Biar Kak Bim sama Bunda dan para istri kalian. Bentar lagi maghrib dan kita belum ada yang mandi. Al, juga harus jemput Kak Sia dan Kak Sean di stasiun."
"Baiklah, ayo!" Rangga dan lainnya pun mengikuti, tinggal para wanita yang masih tinggal bersama Mayang yang masih mengamati rumah sahabat kecilnya itu dengan sendu.
"Mbak Mayang masih sedih?" tanya Gadis, lalu Andara pun mendekat lalu mendekapnya.
"Jangan sedih, Mbak. Setidaknya pilih bahagia saja untuk Bima. Akhirnya anak itu bersedia menikah," kata Andara.
"Meski ada kesedihan karena ayahnya telah pergi, Bima datang untuk menjadi ganti. Luka Kinan akan terobati, dan Bima akan jadi menantu yang bisa diandalkan bagi Mbak Melati." Gadis menyemangati kakak perempuannya itu. "Kita tunggu Bima di mobil saja."
Mayang pun menurut tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, kesedihan masih nyata terlihat di matanya yang sesekali akan meneteskan air. Sahabat kecilnya pergi, tentu dia bersedih. Tapi syukurlah, keinginan terakhir Reksa telah terwujud meski saat puterinya dinikahi Bima, pria itu sudah tidur dalam petinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubungan Bodoh ✔ LENGKAP
RomanceDisarankan sebelum membaca novel ini, lebih baik membaca lapak Romantic Rhapsody dulu ya ... BLURB Atas permintaan sang kakak, Bima Andika Tama harus menerima seseorang yang dia benci di masa remajanya untuk menjadi sekretarisnya. Wanita itu bera...