Teori Balas Budi

3.3K 406 28
                                    

Suasana berubah mencekam tiba-tiba, setelah pintu ruang kerja itu di tutup. Mayang dan putranya sudah pergi, menyisakan dua orang yang sebenarnya tak terlalu saling mengenal itu, kecuali insiden di masa lalu mereka. Di mana korbannya sedang menatap tajam, dan terduga sebagai pelaku sedang berdiri tak nyaman di tempatnya. Kinan seakan sedang dihakimi oleh korban kenakalannya ketika remaja.

Bima bergerak, mengambil langkah maju untuk mendekati wanita berkerudung maroon di depannya. Baru tatapannya saja, sudah membuat Kinan bagai sedang ditodong pistol di pelipisnya. Dia akhirnya sadar, kenakalannya di masa remaja kini berbuntut panjang.

Nakal saat remaja itu 'kan wajar. Iya, 'kan? Tapi tidak bagi Bima.

Kinan sekuat hati  menahan diri untuk diam. Meski itu bukan sikap aslinya, dia bukan wanita kalem yang suka ditindas. Ayahnya sedang butuh perawatan terbaik saat ini, dan ibunya butuh makan. Kakak perempuannya sudah berkeluarga jadi Kinan tak akan merepotkannya. Dia akan bertahan untuk kedua orang tuanya yang ada di kampung yang kini sedang bergantung padanya.

"Jadi, nama kamu Kinanti?"

"I-iya, Pak."

"Apa aku setua itu? Kenapa panggil 'Pak'?" Kedok Bima yang judes kini sudah bisa Kinanti lihat.

"Jadi, saya harus panggil apa?" Sabar Kinan. Ini nggak akan lama.

"Itu kita tentukan nanti. Meski Mbak Mayang yang minta, belum tentu aku bakal terima kamu. Tapi, aku akan kasih kamu kesempatan. Apa kebisaanmu? Di luar kemampuanmu di bidang akademik yang tertulis di kertas yang kamu bawa itu."

"Saya bisa bela diri, memasak, dan hafal beberapa juz."

Bima termangu sekejap saat Kinan menyebutkan ketiga keahliannya. Tapi dia tak ingin memuji, karena Kinan bukan seseorang yang pantas dipuji mengingat betapa bar-barnya sikap wanita itu di masa lalu. Terutama pada dirinya.

"Iya. Terlihat di penampilan kamu yang tak manis, tak cantik dan lebih mirip guru ngaji daripada seseorang yang melamar kerja sebagai sekretaris. Apa menurutmu aku akan menerima kamu?"

"Itu terserah Anda. Jika tidak diterima, saya akan melamar di tempat lain."

"Oh jadi gitu?" tanya Bima lebih mengintimidasi. "Bagaimana jika aku persulit dulu, aku akan upah kamu hari ini untuk menilai layak atau tidaknya kamu jadi sekretarisku. Aku orang yang tak suka membuang waktu orang, jadi seharian ini bisa dibilang waktumu berbayar."

"Harusnya tak perlu repot, jika tak suka, Anda bisa tolak saya sekarang. Itu rasanya lebih adil."

"Apa aku nanya pendapat kamu? Ini kantorku. Lupa, ya? Jadi keputusan ada di tanganku, pengambilan nilai akan kita mulai dari sekarang. Ikut aku!"

Kinan menurut, dia pun mengekori langkah panjang pria tinggi yang dulu sering dia nakali. Pikiran anak-anak tentu hanya bersenang-senang 'kan? Pria ini saja yang pendendam. Wanita itu merasa, ini bukanlah pengambilan nilai yang seperti Bima bilang. Tapi pria tinggi berparas tampan ini sedang berencana membalas kenakalannya dulu.

Mereka keluar dari ruangan di mana Bima bekerja setiap harinya, yang merupakan kantor peninggalan Albert__sang Ayah. Menuju lift khusus yang biasanya dia pakai untuk pergi ke lantai mana pun yang dia mau.
Bima berdiri angkuh di depan lift yang masih tertutup. Lalu menoleh pada Kinan yang berdiri dua langkah di belakangnya. "Ini lift, dan di sana ada tangga darurat. Aku naik ini, dan kamu yang katanya bisa beladiri pasti kuat untuk turun dua lantai dengan tangga itu. Kamu hitung berapa jumlah anak tangga di sana. Abis itu laporin ke saya."

"Saya tidak mau." Kinanti menjawab cepat.

"Kenapa? Bukankah kamu butuh pekerjaan?" tanya Bima dengan segala keangkuhan yang dia punya.

Hubungan Bodoh ✔ LENGKAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang