Sembari Menunggu Hujan

2.3K 349 18
                                    

Bima pergi dari Kinan yang sedang didekap erat oleh Melati di samping jasad Reksa yang coba dipindahkan oleh Ibram dan Atma, agar bisa diurus sebagaimana jenazah akan dikebumikan.

Jeritan dan tangisan.

Bukan untuk itu tujuan mereka datang ke sana sore ini. Harusnya Bima akan mendapat jawaban Kinan soal pinangannya. Tapi bahkan wanita itu kini tengah tak sadarkan diri dan seluruh anggota keluarganya juga bersedih.

Ada Satya yang sedang berbicara dengan beberapa warga yang tadinya ingin menyaksikan kebahagiaan keluarga terpandang itu, namun tangis kesedihanlah yang mereka lihat di sana. "Sepertinya hujan akan turun, jadi persiapkan segera, agar almarhum bisa segera dikebumikan."

"Baik, Pak." jawab salah seorang warga segan. Satya adalah penduduk asli dari kampung itu, dan dikenal sebagai salah satu cucu keluarga Arimbi yang memiliki sebagian besar lahan yang mereka sewa untuk bercocok tanam. Dan bagi yang tidak mampu menyewa, mereka cukup sebagai pekerja yang diupah per minggu.

"Om Satya." Bima memanggil pria itu. Satya pun berbalik badan dan memberikan seluruh perhatian padanya. "Apa Om, bisa bantu Bima?"

"Ngomong saja, Bim. Ada apa?" Satya menepuk perlahan bahu sahabat puteranya itu.

"Bima mau nikahin Kinan sekarang, apakah Om bisa mengusahakan itu? Bima pikir, Om yang asli orang sini tak sulit untuk menghubungi pejabat terkait untuk melegalkan pernikahan. Karena Pakde Atma sepertinya sedang sibuk saat ini."

Seseorang datang bergabung dengan keduanya, lalu merangkul bahu Bima yang wajahnya murung itu dari belakang. "Bagus, Albert Junior! Om, juga akan bantu kamu. Makin kamu dewasa, tiap melihatmu aku jadi sangat merindukan ayahmu itu." Dio nampak menahan air matanya. Tak bisa dipungkiri, Albert adalah sosok pengganti ayahnya yang meninggal sejak dia masih kecil.

Andai Ayah di sini.

"Baiklah, Om Satya akan urus itu sekarang juga. Dio, beritahu Ibram dan Pakde Atma, juga yang lainnya."

"Oke."

***
"Kak Bim nikah sekarang?!" Sukma akhirnya mau berhenti menangis setelah Arsa memberitahunya tentang kabar itu.

"Udah bisa berhenti, 'kan? Aku sampai bingung lihat kamu nangis begitu." Tukas Arsa. "Hujan aja kalah derasnya sama air mata kamu, Sayangku."

"Tapi, Mbak Kinan masih pingsan, Sa. Dan di luar juga hujan lebat."

"Mbak Kinan akan bangun, dan hujan juga pasti berhenti. Dan jika hujan berhenti, maka ... Ayah Mbak Kinan harus dimakamkan. Jadi, sembari menunggu hujan turun, Kak Bim akan menikah." Nyatanya ssrkaran memang sedang hujan lebat.

Sukma yang sedari tadi meringkuk di sofa kecil yang ada di ruang tamu rumah sederhana itu, kini bersedia duduk dengan tegak. Saudara-saudaranya yang lain, sedang ikut membantu warga yang mempersiapkan upacara pemakaman yang biasa mereka lakukan jika ada seseorang yang meninggal.

"Sekarang, Kak Bim di mana?" tanya Sukma.

"Lagi sama Papa, jemput penghulu."

Sukma sedikit tersenyum mendengar perkataan suaminya. "Nah, gitu dong! Sukma dan senyum itu satu. Kan udah janji nggak akan cengeng lagi."

Sukma mengangguk, "Sukma pikir, Kak Bim akan pergi tadi. Eh tapi, kalo mereka belum kembali dan hujannya udah berhenti gimana?"

"Tenang, rumah penghulunya cuma jarak tiga rumah dari sini."

Sukma menyandarkan kepalanya pada bahu Arsa yang sedikit basah karena dia pun tadi ikut menyiapkan air untuk memandikan jenazah. "Sa, nggak pernah kebayang ya, Kak Bim bakal nikah dengan suasana yang begini. Dia tiap kali ke pemakaman, akan ingat pada Oma Indah dan Opa Albert. Aku tahu, hatinya pasti sangat sedih sekarang."

Hubungan Bodoh ✔ LENGKAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang