Persekongkolan Rahasia

2.9K 375 35
                                    

Bima menghela nafas berat disebabkan situasi di tangga darurat itu cukup serius. Ada seorang wanita menangis di depannya saat ini, meski tak suka Kinan, tapi dia tetap wanita yang apabila menangis akan terlihat bagaimana begitu, 'kan? Bima adalah pria sejati yang tak suka jika melihat salah satu dari kaum hawa itu menangis.

"Jangan nangis! Makin jelek nanti." Susah sekali mengupayakan sikap lembut pada wanita ini. Bima pun menghampiri Kinan yang masih duduk di tangga, dengan ponselnya yang masih wanita itu genggam.
Kinan menghapus jejak basah di pipinya, lalu menyedot sisa ingus di hidungnya tanpa rasa malu sedikit pun pada pria tampan di depannya itu.

"Jorok!" Bima mengernyit. "Nggak malu sama aku?"

"Buat apa malu, toh mau disembunyikan juga Anda sudah melihatnya."

"Nih, pake!" Sehelai kain yang terlipat rapi berwarna biru tua Bima ulurkan pada Kinan.

"Tidak perlu. Udah nggak nangis. Lagian sapu tangan nggak ngebantu apa-apa selain buat ngelap air mata. Sementara Anda sendiri adalah penyebab air mata saya keluar."

"Jadi kamu nyalahin aku?"

"Kalo Anda nggak mau disalahin, makanya bantuin. Kasih saya kerjaan, bukan sekretaris juga nggak masalah, suruh nyapu atau ngepel juga nggak pa-pa, deh." Kinan rasanya tak ingin ibunya khawatir lagi, jadi egonya dia turunkan sedikit untuk sebuah pekerjaan.

"Kok, jadi kamu yang ngatur?" Bima tampak tak terima dan berdiri angkuh. "Nanti kamu ngadu ke kakakku yang nggak-nggak andai kamu jadi tukang sapu."

"Orang kaya mah gitu, pikirannya buruk mulu. Kalo Anda nggak mau bantu, tinggalin saya di sini. Biar saya bisa mikir gimana caranya membuat ibu saya di kampung nggak sedih mikirin saya dan Bapak yang lagi sakit."

Bima menarik nafasnya lagi. Kali ini tatapannya lebih manusiawi, tak seperti singa lapar yang siap menerkam mangsanya. Seperti sejak dia tahu bahwa Kinan adalah gadis usil yang sering menjahilinya dulu.

"Nih, pake! Hapus yang bersih tuh muka kucel, terus ikut aku!" Bima mengulurkan sapu tangannya lagi.
Kinan mendongak, Bima memang berdiri menjulang di depannya sambil bersandar pada besi pembatas tangga. "Kemana?"

"Ya, kerja lah!"

Kinan berdiri, senyumnya terbit dan tak terlihat lagi sifat keras kepala bercampur sedikit keangkuhan yang tadi sempat dia tunjukkan pada Bima. Menerima sapu tangan itu, lalu melap wajah cantiknya.

"Sapu tangannya saya bawa dulu, Pak. Biar nanti saya cuci dulu."

"Jangan panggil Pak! Aku tak setua itu! Buang saja! Aku udah nggak butuh, apalagi bekas kamu." Bima berbalik dan menuruni tangga, lalu Kinan mengikutinya dengan masih menyimpan rasa kesal yang sama pada pria di depannya itu.

Pria sombong! Dengusnya dalam hati.

Lalu seketika, wajah sedih ibunya saat tadi mengungkapkan rasa khawatirnya lewat panggilan telfon terlintas di benaknya.

"Maaf," ucap Kinan perlahan namun Bima masih mendengarnya. Pria itu pun berhenti lalu berbalik.

"Bilang apa?" tanya Bima galak.

"Maaf," ulang Kinan namun sedikit lebih keras. Kinan menunduk lalu menarik nafas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya. "Maafin saya, atas kenakalan saya dulu kepada Anda. Saya hanya anak kecil waktu itu dan---"

"Dan aku juga masih kecil waktu itu. Tapi aku nggak rese kayak kamu."

"Yang penting saya udah minta maaf, lagian maafin orang nggak akan ngurangin harta Anda, 'kan?" ucap Kinan dengan nada menggerutu.

"Suka-suka aku! Diam dan ikuti saja, aku telat meeting gara-gara kamu, nih!"

"Ma---"

"Nggak usah minta maaf! Gampang banget sih, minta maaf? Bikin kesel aja."

Hubungan Bodoh ✔ LENGKAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang