Korban Bima

2.6K 375 14
                                    

Kumandang adzan maghrib sayup-sayup terdengar dari surau yang berada tak jauh dari rumah Kinan. Wanita itu masih berada di punggung Bima saat keduanya melewati tempat beribadah bagi orang yang tinggal di sekitaran bangunan kecil yang terlihat sudah berumur puluhan tahun itu.

"Biasanya, Ayah yang adzan." Tidak panjang kalimat yang memecah keheningan kala hari mulai gelap yang wanita itu ucapkan. Namun Bima mendengar ada kerinduan yang mendalam dalam nada bicara wanita yang nyaman di punggungnya itu.

"Mulai sekarang, biasakan bahwa yang kamu dengar bukanlah suara Ayah. Perlahan, maka akan terbiasa."

"Kayak kita?" Kinan menyahut cepat.

"Mungkin." Bima menjawab ragu.

"Dua orang asing, akan tinggal bersama."

"Kalo udah terbiasa, maka bukan orang asing lagi. Berhentilah meracau! Setelah isya', Jordy akan memeriksa kakimu. Sementara aku ke masjid, kamu diam dan duduk tenang di rumah. Sholat sambil duduk saja. Paham?" Bima memberi penekanan pada kata terakhirnya, hingga Kinan merasa sedikit kesal karena dianggap seperti anak kecil yang suka bikin rusuh saja.

"Paham."

Tak ada kata lagi setelah itu, dan keduanya sudah memasuki pekarangan rumah yang masih terdapat tenda sewaan yang berdiri kokoh di halaman.

"Kinan, kenapa?!" Melati terkejut saat melihat Bima membantu istrinya itu untuk duduk di sofa.

"Dia terpeleset di bukit, Bu."

"Bagaimana bisa?" Melati mendekat pada anak perempuan itu. "Ibu seperti melihat kamu masih usia sepuluh tahun saja, Kinan." Kaki bengkak Kinan sedang dalam pengamatan mata tua wanita itu. "Sudah ada suami. Jadilah sedikit anggun." Melati beranjak berdiri setelah puas melihat mata kaki yang berukuran lebih besar dari pada biasa itu, lalu masuk ke dalam. "Ibu akan mengambil minyak untuk kakimu."

"Ibu, jangan berkata seperti itu di depannya. Dia nanti bisa mengolokku." Kinan berkata dengan pelan, tapi Bima bisa mendengarnya.

Pria itu lantas tersenyum. "Aku sudah tahu bahwa kata 'anggun' memang tak cocok untukku sejak lama, meski ibu tak memberitahuku. Aku ke masjid, dan ingat pesanku!"

Kinan mengernyit sambil mengangguk.

Lalu tiba-tiba sebuah tangan terulur di hadapannya. Wanita itu mendongak, dan beberapa detik mencerna maksud suaminya melakukan itu. Kinan lalu menyambutnya dan mencium punggung tangan pria itu.

"Assalamu'alaikum." Salam Bima, sebelum akhirnya keluar rumah seiring lafaz iqomah dari surau.

"Wa'alaikumussalam." Kinan menjawab lalu menatap telapak tangannya yang tadi bersalaman dengan Bima. "Dia itu omongannya pedes kayak cabe tapi perilakunya kayak permen kapas. Kok bisa, ya? Mau kesal padanya jadi sulit."

***
Tahlilan hari kedua lebih ramai dari hari pertama karena tak disertai hujan seperti kemarin. Acara pun sudah dimulai sejak satu jam yang lalu dan dipimpin oleh seorang ustadz yang biasanya jadi imam di surau dekat rumah Kinan.

"Mbak Kinan, kakinya gimana?" Tanya Sukma yang membantu Kinan memindahkan kue ke piring sembari mencicipinya.

"Udah baikan. Lumayan, buat jalan udah nggak begitu sakit."

"Untung Jordy selalu bawa obat-obatan di tasnya." Setelah menelan kue rasa coklat yang disuapkan ke mulutnya tadi, Sukma melanjutkan tanya jawabnya. "Kok bisa jatuh, sih?"

"Kepleset Sukma, perasaan tadi Mbak Kinan udah cerita deh." Sia yang menjawab. Ketiganya sedang duduk di sebuah dipan tua yang ada di dapur rumah Kinan. Ada beberapa ibu-ibu yang melakukan hal yang sama dengan yang mereka lakukan saat ini.

Hubungan Bodoh ✔ LENGKAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang