Pamit

2.5K 384 29
                                    

Malam ini cerah, karena bulan bersinar sempurna di atas sana. Di rooftop rumah lima lantai milik Bima cukup berangin namun tak berhawa dingin. Maklum, bukan musim hujan.

Hamparan warna gelap di atas sana nampak indah karena tebaran bintang, meski tak banyak. Nampaknya bulan tak bekerja sendirian untuk memperindah malam ini.

"Ini sudah malam, 'kan?" tanya pemuda yang berbaring di rumput buatan yang ada di atap rumah itu.

"Ada bulan di langit berwarna gelap. Ini memang malam, Al. Kamu kenapa? Bahkan orang patah hati juga tahu kalo sekarang udah malam." Arsa berdecak, karena Al tak pernah begitu payah, kecuali saat Sia kakinya sakit. "Lo beneran nggak pulang?" Arsa duduk di sebelah Al yang tengah berbaring terlentang itu.

Memang, Al menolak pulang. Juga menolak makan.

Hatinya masih sedang tak baik-baik saja. Pikirannya tersita pada peristiwa pagi tadi, di mana seorang gadis dengan tangisannya telah memukul wajahnya hingga tercetak memar di sana.

"Gue kenapa ya, Kak? Wajah gue yang ditonjok tapi kenapa hati yang terasa sakit dan tak berangsur membaik?"

Arsa menarik nafasnya dalam lalu menoleh pada Al yang memang tak terlihat baik. "Gue bukan Jordy, tapi gue bisa mendiagnosa penyakit yang lo derita. Penyakit hati yang biasa orang sebut jatuh cinta, dan targetnya adalah gadis yang nonjok muka lo tadi pagi."

Al tersenyum samar, karena rasanya dia lupa caranya tersenyum lebar. "Kami nggak pernah akur, Kak. Kami bukan lo dan Kak Sukma yang emang  udah sama-sama sejak kecil."

"Jatuh cinta. Dua kata dari kata 'jatuh' dan 'cinta', jatuhnya nggak bisa milih di mana dan buat siapa. Tapi tahu-tahu udah pake hati saat jatuhnya. Hati lo, udah mengistimewakan dia yang jika dia jatuh, lo pun ikut terluka. Kalo dia senyum, lo ikut bahagia. Interaksi bodoh antara kalian berdua, lewat adu mulut tiap hari telah melahirkan rasa yang disebut cinta itu tadi."

"Gue cuma ngerasa salah, Kak. Dia tadi nangis."

"Dia yang nangis ini, kenapa lo galau dan menolak pulang? Nggak takut, kalo tiba-tiba Papa Ibram ke sini lalu nyeret lo pulang?"

"Nggak akan. Al udah bilang ke Bunda bakal nginep di sini."

"Wah, beneran galau nih anak. Hati lo sakit parah itu. Nggak ada obat kalo belum ketemu si Cicak."

"Nah, kalo yang ini benar. Al pengen ketemu dia. Mau mastiin keadaannya. Mau nanya kronologinya."

"Banyak banget mau lo, tapi menyangkal kalo cinta. Tapi lo ngerasa aneh nggak sih, kita yang masih adem ayem di sini menikmati udara malam tanpa gangguan. Padahal lo, tadi pagi menjadi tertuduh telah meniduri seorang gadis yang notabene adik dari seorang ketua mafia?"

Al langsung terduduk. Mungkin dia rasa, Arsa ada benarnya.

"Mungkin nggak, kalo ternyata si Cicak kesayangan lo itu, ngumpetin masalahnya dari kakaknya? Semua masih setenang ini, ya, karena ternyata si Jerry nggak tahu sama apa yang terjadi pada adiknya. Mungkin nggak kalo kayak gitu?"

Al meremas rambutnya gusar. "Kenapa dia sebodoh itu? Harusnya dia marah dan ngadu ke kakaknya, 'kan?"

"Harusnya begitu. Tapi ini udah hampir tengah malam dan kita masih bisa duduk tenang di sini sambil ngomongin hati lo yang lagi galau, berarti ada kemungkinan si Jerry nggak tahu apa-apa."

"Duh, Cicak! Bikin gue makin nggak tenang aja sih!" Al berdiri lalu mulai berjalan cepat.

"Lo mau kemana?!"

"Ke rumahnya!"

Arsa menepuk jidatnya sendiri lalu berdiri. Niatnya adalah untuk mengejar pemuda galau yang sudah seperti adiknya itu agar mengurungkan niat gilanya untuk mengunjungi rumah mafia di malam selarut ini.

Hubungan Bodoh ✔ LENGKAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang