Untuk Haekal (Bukan Update)

310 53 18
                                    

Hari ini sekolah berlangsung membosankan. Catatan, tugas, Ulangan. Tak ada yang menarik, tak ada yang berbeda dari biasanya.

Teman-teman kelas yang sibuk sendiri, ekstrakurikuler yang tak menyenangkan, dan guru-guru yang membosankan.

Benar-benar hari yang biasa.

Aku baru saja menutup pintu rumah saat ibu berteriak dari dapur, mengagetkanku yang baru saja melepas sepatu. Ibu muncul dari balik pintu dengan mangkuk dan sendok di tangan, tampaknya sedang mengaduk adonan kue.

"Adin! Tadi ada surat buat kamu, ibu taruh di atas meja belajar." Aku mengernyitkan alis, menatap ibu dengan tatapan bertanya.

"Dari siapa, bu?" Seingatku aku tak punya teman dari luar kota.

"Tidak tahu, tidak ada nama pengirimnya. Sudah sana ganti baju, lalu makan siang." Aku mengangguk meskipun ibu sudah kembali menyibukkan diri di dapur.

Anak-anak tangga dari kayu kunaiki perlahan, agak berat karena aku merasa begitu lelah hari ini. Lelah karena rasa bosan.

Sesampainya di kamar, tas hijau lumut yang sedari tadi kusampirkan di pundak kulemapr ke atas ranjang. Melepas seragam sekolah dengan cepat sembari melangkah mendekati meja belajar. Menemukan sebuah surat di atasnya.

"Dari siapa, sih?" Gumamku, mengangkat surat itu, menerawangnya.

Di sana hanya tertulis Untuk Adin dengan huruf besar, tanpa ada keterangan lain.

"ADIN! CEPAT MAKAN SIANG!" Teriakan ibu terdengar dari bawah, membuatku mengurungkan niat untuk membuka surat itu.

Lekas kukenakan kaos santai berwarna putih dan celana pendek selutut, menyusul ibu di dapur.

Dan siang itu lalu kuhabiskan untuk membantu ibu. Dari membuat kue, mencuci pakaian, mengangkat jemuran kemarin, lalu menyetrikanya.

Melelahkan, tapi setidaknya tidak semembosankan kegiatan di sekolah. Ada ibu yang menghiasi waktu dengan berbagai macam cerita.

Ayah datang tepat sebelum makan malam, mendapat omelan dari ibu.

Kami lalu makan malam bersama, dihiasi oleh gerutuan ayah mengenai atasannya di kantor. Aku tertawa menanggapinya, setidaknya kisah ayah lebih menarik daripada kehidupan sekolahku.

Selesai makan, aku pamit ke kamar, beralibi bahwa ada tugas yang harus kuselesaikan. Nyatanya, aku sudah keburu penasaran setengah mati dengan surat tadi.

Segera setelah ku kunci pintu kamar, kubuka surat itu sambil mendudukkan diri di atas kursi.

Ada beberapa lembar kertas di dalamnya, dan kertas pertama bertuliskan, Hai Adin, bagaimana kabarmu? Kutulis surat ini dan kukirimkan padamu dari masa depan. Ini aku, Adin dari sepuluh tahun yang akan datang, dan surat ini adalah permintaanku padamu.

Masa depan?

Omong kosong macam apa itu?

Mungkin kau tidak akan mempercayai ini, tapi ini permintaanku. Tolong, kumohon padamu, selesaikan penyesalan yang kulakukan di masa lalu.

Aku tertawa pelan, lucu dengan isi surat ini. Penyesalan apa memangnya yang aku lakukan di masa sekarang?

Tunggu- memangnya surat ini beneran dari masa depan?

Kubalik lembarnya, membaca lembaran kedua.

30 Agustus 20xx

Hari ini, bu Laras seperti biasanya mengumumkan hasil kuis sebelumnya dan mengumumkan jadwal ulangan harian.

Hah?

Tunggu- kok dia tahu?

Saat itu aku dengan bosan hanya mengiyakan, mengabaikan pertanyaan-pertanyaan dari teman sekelas mengenai persiapan mereka. Mengabaikan pertanyaan darinya. Pertanyaan antusias dari Haekal, teman semejaku.

Hah?

Haekal?

Aku menggruk kepalaku, tak mengerti kenapa isi surat ini tia-tiba menyebut nama teman semejaku. Meski di sisi lain aku amat keheranan karena surat ini menuliskan hal yang persis terjadi hari ini.

Itu adalah penyesalanku yang pertama.

Ah, sorry, aku melakukannya. Apa aku akan menyesal lagi nanti di masa depan? Aku bahkan tidak berteman dengannya.

31 Agustus 20xx

Ini adalah kali pertama aku bicara dengan jelas padanya. Bukan hal baik. Hari ini bu Ningsih mengadakan praktikum biologi. Ini penyesalanku yang kedua. Aku memarahinya, membentaknya, melampiaskan seluruh marahku padanya. Kupikir ia yang sudah membuat tugasku kacau. Aku meneriakinya di lab, tak peduli dengan dirinya yang saat itu hampir menangis karena rasa bersalah, bergetar tanpa berani menatapku. Hingga sekarang, aku masih amat sangat menyesali kejadian itu.

Maka dari itu, aku ingin, kau mendengarnya. Tidak berteriak padanya. Meredam marahmu sebentar saja untuk mendengarkan penjelasannya. Kumohon padamu.

Aku terdiam, tak mengerti apa maksudnya.

Surat ini omong kosong, mungkin ada orang yang sebenarnya ingin membuat cerita fiksi tapi malah salah alamat mengirimnya ke rumahku.

Eh, itu tidak masuk akal juga, sih.

Kulempar asal surat itu ke atas meja. Tertawa. Menertawakan surat itu.

"ADIN! JANGAN LUPA MENUTUP JENDELA!" Terdengar teriakan ibu dari luar.

"IYA, BU!" Aku balas berteriak. Bangkir dari kursi, mendekati jendela.

Angin berhembus kencang malam ini, sepertinya akan turun hujan. Selesai menutup jendela, aku menoleh pada jam dinding. Masih terlalu cepat untuk tidur. Mungkin mengedit foto sebentar tak ada salahnya.

Aku menyalakan PC dan monitor di meja lain, kembali ke meja belajar dan mendapati surat itu berserakan. Mungkin karena angin tadi.

"Merepotkan saja," keluhku, memungutinya.

Setelahnya, aku terdiam. Memegang lembar terakhir surat itu.

31 Agustus 20xx

Hari ini kami berempat berjanji untuk bertemu di kebun bunga milik pak Toni. Aku, Haekal, Arjuna dan Jenan. Kami ingin berfoto bersama di sana.

Aku menghubungi Haekal pagi-pagi sekali. Berkata ingin menambah koleksi foto kami sekalian merayakan setahun kami resmi berteman. Tapi pagi itu, ia tak kunjung membalas pesanku.

Aku dan yang lain menunggu di kebun, sembari membantu pak Toni. Lama sekali, hingga petang datang. Kami memutuskan untuk pulang, berpisah di pertigaan dan kembali ke rumah masing-masing.

Setelahnya, Arjuna menelponku. Menangis keras. Aku tak mengerti, ia hanya menangis dan terus menangis. Hingga Jenan datang tiba-tiba setelah berlari dari rumahnya yang tak begitu jauh dari rumahku.

Duduk di depan pintu. Hanya diam, tapi tubuhnya bergetar, menahan tangis.

Aku tidak mengerti, kutanya apa yang terjadi pada mereka.

Lalu Jenan memberitahuku, bahwa Haekal sudah pergi.

Dan itulah penyesalan terbesar kami.

***

Pojok Penulis

Hai, sorry ya bukan update, ini cerita bonus aja karena mendadak dapat ide setelah nonton film.

Semoga suka

Rentetan Cerita [Lee Haechan ft. Kim Doyoung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang