بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***Aku memaksa lepas, meski hatiku belum ikhlas. Perkara strata itu menyebalkan. Satu sisi ingin bertahan, tetapi kondisi tidak memungkinkan.
_______Bukan perkara mudah seolah membalik telapak tangan, ini perihal rasa cinta dibalut iba. Perihal rasa terhalang kasta. Katanya kasmaran wajar menimpa anak muda, aku contohnya. Tapi kenapa harus pada seorang hartawan? Bagai mengambil bintang di angkasa saja.
Jangan tanya lagi bagaimana sikapnya. Jawabanku masih sama, terlalu baik untuk ukuran sosok hartawan bersikap lomo pada orang lain yakni keluargaku sebab perhatiannya terlampau jauh, bahkan membuatku merasa sungkan dan hutang budi. Dan itu adalah pikiranku ke sekian ketika mengingat Juragan.
Jujur, aku sangat takut melangkah jauh perihal rasa ini. Meski begitu, anehnya satu sisi hatiku membiarkan rasa cinta tumbuh begitu saja hingga berpikir biarlah mengalir, sebab terasa janggal ketika memaksa menangkis. Namun naasnya akalku benar-benar berontak, menuntut rasa itu harus dihadang. Pergulatan ini tak berujung kemenangan, keduanya sama-sama kuat hingga akhirnya aku yang memutuskan setuju pada akal. Memaksa abai dengan perasaanku sendiri.
Ibu juga sejak awal sudah mewanti-wanti agar aku mundur teratur. Aku sedikit kecewa meski mengangguk setuju karena kelihatannya mudah, ternyata sulit sebab perihal cinta sudah terlanjur. Saat keyakinanku penuh untuk melupakan, ia malah selalu datang tanpa diundang sebagai pahlawan ketika aku ditimpa kesulitan. Itukah yang dinamakan rintangan? Atau sudah ditakdirkan demikian?
Ya Allah, jika itu takdir, aku tidak bermaksud melawan. Aku hanya belum siap kembali menerima cacian. Pandangan manusia lain tentu tidaklah menerima begitu saja perihal hubungan yang timpang. Cukup dulu berkubang dengan panjangnya hinaan orang-orang, sekarang ingin menjauh. Benar-benar menghindar dengan hal berbau perbedaan strata sosial.
Mataku bersirobok dengan sosok yang berdiri tak jauh dariku. Mendekat seraya meletakkan sesuatu di meja tanpa mengucapkan sepatah kata. Aku baru sadar, tenyata lamunanku panjang sampai tak menyadari kehadirannya.
"Kenapa harus Juragan?" tanyaku tiba-tiba. Memuntahkan kelebat pertanyaan dalam pikiran, alasan dirinya selalu ada di garis edarku.
Pemilik manik mata kelam itu menoleh padaku sesaat tapi tidak menjawab. Malah tampak sibuk menggulung lengan kemejanya hingga siku. Membuka plastik berisi makanan lalu didekatkan ke arahku lalu kembali menyambung melakukan sesuatu.
Aku tidak menanggapi, masih setia menanti balasannya. Tetap bungkam dengan tatapan tajam ke arahnya meski diabaikan.
"Kenapa harus Juragan yang menemaniku? Kenapa harus Juragan yang kerap menolongku? Kenapa Juragan sangat baik padaku dan Ibu?" Aku masih menuntut jawaban dari pertanyaan yang berkubang terlalu dalam di pikiran.
Kutanyakan hal itu berulang hingga ia merespon dengan menghela napas berat. Mungkin kesal denganku. Gerakan tangannya menyingkirkan bungkusan plastik terhenti, duduk di sofa sambil melepas peci hitamnya, menyugar rambut yang tampak sedikit basah. Pasti terkena air wudhu.
"Saya panggilkan perawat untuk membantumu sholat. Kamu belum sholat, kan?" Ia mengalihkan. Menjawab dengan kalimat yang tidak kuharapkan.
Sungguh, bukan itu yang ingin kudengar, harusnya ia tidak bertele-tele. Kini pria itu sudah keluar dan kembali datang bersama seorang perawat berkerudung putih. Memintanya membantuku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu lalu pergi meninggalkan kami. Ia lolos lagi dari pertanyaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudera Untuk Brahmana
SpirituellesSquel My Future Gus, tapi bisa dibaca terpisah (slow update) Kisah Nur Aniskurly dan Zaki Mustofa Althaf. Ganti judul dari Laksana menjadi Sudra untuk Brahmana . Dia bukan pria penuh senyum, dia pendiam, dia penuh rahasia. Aku suka, entah dari semua...