19🍂 Petuah Bapak

399 79 6
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***
'Penyesalan selalu datang terlambat. Jangan menunggunya, lakukan apapun dengan baik agar dia tak pernah hadir'
____________

Tak lagi terdengar jelas suara baku hantam yang sebelumnya kuyakini berasal dari luar. Ingin kembali berteriak tapi nyaliku ciut sebab ditelan ketakutan. Hanya suara isakku yang sejak tadi masih bertahan.

Ternyata deru tangisku benar-benar tidak berarti apapun. Bahkan permohonanku berkali-kali pada Paklek untuk menyudahi semua perselisihan ini dengan cara baik-baik tidak juga beliau tanggapi, mengabaikan apapun ucapanku. Aku hanya bisa menunduk, merasakan kepala berdenyut semakin nyeri hingga kegelapan kembali menghinggapi. Ya Rabbi, aku lelah dengan semua ini, aku pasrah apapun yang terjadi.

Kedua mataku terbuka ketika wajahku menerima sapuan angin cukup kencang lalu sadar ternyata telah keluar dari ruangan dengan cahaya minim tadi dan kini tengah berdiri di tempat dengan pemandangan indah. Terlihat sebuah danau dengan rimbunan pohon Angsana berjajar tak jauh dari sana, rantingnya rendah hingga bunga warna kuning seolah menggantung, beberapa kali berjatuhan seperti musim gugur. Bunga-bunga melati juga ada di sana dengan wangi berpadu bunga Angsana yang semerbak begitu menyengat indra penciuman.

Aku memilih menuju bagian sudut danau ketika melihat kursi kayu kosong yang cantik di bawah rimbunan pohon. Kedua kakiku berjalan pelan menapaki rumput Jepang yang terhampar, terasa sedikit geli pada telapak akan tetapi, malah mengundang senyum dari bibirku. Aku duduk menyandar dengan mata tak lepas mengedar sekeliling. Menikmati keindahan ciptaan Allah yang luar biasa.

Sesaat mataku terpejam, menarik napas panjang lalu perlahan membuka kelopaknya. Rasanya sangat damai, bahkan ingin menetap saja di tempat dengan hawa sejuk ini. Tatapanku sejak tadi masih fokus pada danau dengan air jernih di depanku, mengundang perhatian hingga membuatku beranjak. Berpikir akan sangat menyenangkan jika bermain air.

Namun, belum sempat kakiku menyentuh pinggiran danau karena berhenti mendadak usai merasakan usapan di punggung. Aku menoleh lalu terhenyak melihat sosok yang tangannya singgah mengusap. Kedua mataku mengerjap tak percaya, seketika menggiring embunnya menuju pelupuk. Aku menggeleng lemah disela isakan yang tak tertahan. Memangkas jarak dengan sosok berwajah teduh dengan ukiran senyum begitu nyata ada di hadapanku. "Bapak, Anis rindu." Kutenggalamkan tubuhku dalam rengkuhan sosok cinta pertamaku ini. Semakin mengeratkan pelukan ketika merasakan mendapat balasan.

Tangisku mereda setelah cukup lama tergugu. Merengkuh satu lengan Bapak saat beliau menggiringku kembali duduk di kursi. Bahkan sejak tadi kedua tanganku tak ada niatan melepas kaitan pada lengan beliau, malah kini kepalaku bersandar di pundaknya.

"Bapak juga rindu kamu, Nduk. Maaf, tidak bisa menemani dan menyaksikanmu tumbuh hingga menjadi gadis yang sholihah seperti ini," ucap Bapak sembari menatapku sendu. Aku menggeleng kuat, mengusap lelehan air mata di pipi Bapak.

"Ini sudah takdir Allah, maka harus menerima keputusan ini. Anis sayang Bapak. Ibu juga sangat sayang Bapak," balasku lirih. Menatap netra Bapak dengan sorot mata menampakkan beban yang kupikul. Semua keletihan menghadapi masalah selama ini terasa segera meluap.

"Pak, kenapa semua yang terjadi rasanya membuat Anis tidak kuat bertahan lagi. Anis capek terus-terusan berseteru dengan Paklek, dia jahat sama kami. Seolah tak ada kesudahan masalah yang kami hadapi, masih sama karena perihal harta. Boleh Anis ikut Bapak saja?"

Kurasakan kecupan lama dari Bapak di puncak kepala lalu gerakan menggeleng. "Maafkan Paklemu, Nduk. Bagaimanapun juga dia tetaplah kerabatmu, baik buruknya harus kita terima, dia tetap adik kandung Bapak," jelas Bapak membuatku tertunduk dalam, membenarkan ucapan barusan.

Sudera Untuk Brahmana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang