50🍂 Panggilan Baru

390 51 2
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد

JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

***

Senyumku merekah sempurna usai mendengar penjelasannya tentang uang mahar yang akan digunakannya membuka usaha. Aku sama sekali tidak keberatan jika memang uang mahar itu digunakan untuk kebaikan kami juga.

Jujur saja aku merasa bersyukur ia memberikan penjelasan, aku jadi tambah ilmu. Karena memang tidak tau tentang hukum penggunaan uang mahar untuk usaha.

"Nduk, bisa menghadap ke saya sebentar? " ucapnya tiba-tiba yang kuanggguki.

Posisi kami duduk bersebelahan, membuatku langsung mengganti posisi. Lutut kami sampai bertabarakan karena tidak ada sekat.

Ia menatap mataku sebentar sebelum telapak tangannya diletakkan di atas ubun-ubunku. Aku yang merasakan sentuhan itu seketika menutup mata merasa nyaman. Sentuhan yang benar-benar menentramkan.

Ternyata ia membacakan doa untuk pengantin baru yang kuaminkan.

Aku menunduk, teringat sesuatu. "Juragan, apakah saya ini memang pantas untuk njenengan? "

Ia tersenyum simpul sambil merapikan kerudungku, memasukkan helai rambutku yang keluar dengan jarinya. "Pantas seperti apa yang kamu maksud? Allah sudah menuliskan kita berjodoh, tandanya kita memang sudah dipantaskan Allah untuk bersama."

Perlahan kuangkat wajah, menatap maniknya lamat. "Tapi secara strata kita tidak sekufu, Juragan."

Juragan menyentuh pipiku, masih dengan senyuman membalas tatapanku. "Sekufu maknanya itu apa? Kesamaan 'kan. Sekufu itu mencakup banyak hal, nduk. Jangan hanya memandang saya dari satu aspek saja sebagai anak pengasuh pondok pesantren. Jika kamu membahas tentang nasab, kita berdua sama-sama bernasab baik."

"Saya ini hanya anak yatim, anak petani yang serba kekurangan, Juragan."

Juragan menghela napas. "Hilangkan semua pikiran mu tentang itu, Nduk. Karena derajat kita itu sama-sama seorang hamba, hanya ketakwaan yang membedakan kita dihadapan Allah."

Air mataku jatuh, tangisku pecah. "Saya ini ketika pertama memandang njenengan dan menaruh rasa langsung tersadar dengan strata. Saya ini sudra, lantas dengan lancang malah menaruh rasa pada seorang yang beberapa waktu lalu baru saja kutau berada di posisi brahmana. Apakah pantas, Juragan? "

Perumpamaan yang tepat untuk kami. Aku yang hanya rakyat kecil seperti sudra dan ia yang seorang anak pemuka agama seperti brahmana.

Kurasakan sebuah tangan mengusap pelan punggungku, sudah pasti itu milik juragan. "Jawaban saya masih sama, Nduk. Allah yang sudah memantaskan kita bersama. Apakah kamu tau, sebelum kita di alam dunia kita memang sudah dipertemukan. Jadi, jika Allah menghendaki kita bersama tidak ada satupun yang bisa menolak dan melawan. "

Jari telunjuk Juragan mengangkat wajahku yang tertunduk hingga sejajar dengannya. Ia tersenyum, " seperti perumpamaan darimu, bahkan Allah sudah menghendaki sudra yang cantik ini untuk brahmana sepertiku. Lantas saya harus bagaimana?" ujarnya sambil menunjukku.

Mendengar ucapan Juragan tiba-tiba pipiku memanas. Ucapannya begitu manis.

"Merahnya pipimu, Nduk." Juragan terkekeh.

"Juragan, jangan begitu. Saya malu." Kekehan juragan berubah menjadi tawa renyah usai mendengar balasanku. Hal yang baru pertama kali kulihat.

"Malumu terlihat menggemaskan, Nduk, " ucapnya disela tawa.

Sudera Untuk Brahmana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang