بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***Mendengar ucapanku tadi tentang keinginan kembali sendiri, Mas Damar tertegun sejenak sebelum akhirnya mengulas senyum amat tipis.
"Semua masalah dalam hubungan yang namanya rumah tangga itu tidak bisa mudah diambil keputusan dengan berpisah," balasnya.
Aku menunduk, meremas jemari tangan. "Tapi hubungan seperti apa yang kami jalani sekarang? Kata sah saja apa cukup untuk menyelesaikan masalah kami, Mas?"
Tarikan napas panjang dari Mas Damar terdengar. "Semua ada jalan keluarnya, Nok. Akehno sabar, insyaallah masalah itu bisa selesai. Jangan gegabah."
Mendengar penuturan Mas Damar, sesuatu dalam dadaku rasanya sesak karena kecewa dengan responnya. Berpikir, apakah Mas Damar mendukung keputusan juragan? "Apakah Mas Damar sama sekali tidak marah pada Juragan?"
Mas Damar kembali mengusap kepalaku, kali ini disertai tepukan pelan. "Jujur, Mas marah dan kecewa. Tapi, apa dengan marah bisa menyelesaikan masalah? Yang ada kalau kita emosi semuanya akan semakin runyam. Kita harus tetap tenang dan berpikir jernih. Kali ini biarkan juragan yang bertindak, Nok."
Semua ucapan dari Mas Damar berhasil membuatku bungkam. Benar, apa yang dikatakannya tidak salah, hanya hatiku saja yang kurang terima dengan apa yang berlaku.
Wajar bukan, aku perempuan yang dikatakan masih terlalu muda menerima ikatan bernama pernikahan dengan segala perangkat serta masalahnya.
Semua hal yang terjadi memang tidak sepenuhnya karena salah juragan saja. Jika dirunut banyak hal baik yang dilakukannya pada keluargaku.
Nafkah lahir bahkan selalu diberikannya meski dengan cara tidak lumprah. Perhatian yang tercurah padaku tanpa suara, melalui tindakan nyata.
Mengingat itu rasa kecewa jadi terkikis, yang ada malah percaya bahwa ada campur tangan pemilik kuasa. Menghendaki jalan takdirku ditempa ujian sebelum menerima balasan indah dibagian akhir.
"Berilah juragan kesempatan," pungkas Mas Damar sebelum kami benar-benar meninggalkan warung.
Dalam perjalanan menuju rumah aku tak henti memikirkan ucapan Mas Damar. Ada benang merah tipis dari masalah ini mulai tampak dalam benakku. Haruskah aku memberinya kesempatan? Apa sekarang tugasku juga menunggu?
***
Rumah kayu sederhana dekat sawah itu tampak diisi empat orang saling diam. Satu pria muda tampak mengambil napas panjang. Pria itu tak lain juragan yang duduk di antara umi dan abahnya."Kata maaf mungkin tidak cukup, semua tindakan saya memang tidak dibenarkan."
Ibu dari Anis itu masih tak bersuara hingga juragan merampungkan ucapannya.
"Saya berniat meminta Anis menjadi istri sah saya secara hukum, ibu."
Sebagai orang tua tentu hatinya terluka saat tahu jika orang tua juragan tak lain umi Fia jelas menolak putrinya. Meski Abah Amir telah memberikan restu.
Tapi semua sudah terjadi, sempat berpikir akan membawa putrinya pergi jauh pun tak bisa sebab telah terikat dengan juragan. Ibu Namira tau batasan dari seorang istri. Ridho suami dari putrinya yang harus menyertai sebelum pergi, dan itu tidak akan mudah didapat karena terhalang jarak.
Hubungan antara keluarganya dan keluarga juragan sedang renggang. Juragan yang sibuk meminta maaf dan restu pada uminya sedangkan keluarganya yang dirundung kecewa.
Mereka hanya butuh waktu, sekarang lah saatnya. Keluarga juragan akhirnya datang, berniat baik meminta maaf sekaligus merajut silaturahmi yang sempat kurang baik. Memohon restu padanya untuk melanjutkan tahap penting pernikahan putrinya, meresmikan secara hukum negara.
"Sekali lagi saya mohon maaf jika kedatangan kami mengejutkan Ibu Namira," sahut Abah Amir dengan lembut.
Umi Fia menggeser posisi duduknya, merapat pada besannya. "Saya mohon maaf atas sikap dan respon saya yang kurang baik," ujarnya disertai elusan pada telapak tangan besannya.
"Tidak ada kebencian saya pada Anis, Bu Namira. Saya saat itu hanya terkejut dan kecewa dengan Zaki karena menyembunyikan kebenaran itu. Kami sekeluarga sudah menerima Anis," sambungnya dengan tatapan mata penuh keyakinan tanpa menjelaskan hal lain.
Tak mungkin juga ia menjelaskan alasan lain sebab ketakutannya perihal rentang usia Zaki dan Anis.
Setelah berhari-hari putranya menunjukkan keseriusan akan ucapannya hatinya benar-benar luluh, tidak lagi memikirkan jarak umur antara putranya dan Anis. Malah umi Fia diliputi rasa bersalah pada keluarga Anis atas sikapnya yang seolah-olah menolak.
"Anis itu sudah saya anggap putri saya, dia anak yang baik. Saya mohon Bu Namira memberi restu pada Zaki untuk meresmikan pernikahannya dengan Anis secara hukum."
"Satu hal yang sampai saat ini masih terpikir kenapa baru sekarang? Sudah dua tahun pernikahan itu terjadi, kan?" Kedua mata ibu dari Anis itu menatap lekat juragan.
Juragan mengangguk, membenarkan ucapan mertuanya itu. "Maaf, saat itu saya ingin Anis menyelesaikan sekolahnya dulu. Memberikan Anis kesempatan juga untuk membahagiakan ibu dengan melanjutkan pendidikan atau pun bekerja."
Juragan masih ingat betul percakapannya dengan sang mertua tentang Anis yang ingin membahagiakan ibunya dengan memberikan upah hasil kerjanya. Jikapun Anis ingin melanjutkan pendidikan ia sebagai suami yang akan membiayainya. Sebelum itu ia juga tau Anis ingin mewujudkan impian bapaknya dengan mondok, mencari ilmu agama sebanyak-banyaknya.
Apalagi untuk mengurus pernikahan dibawah umur sembilan belas tahun perlu sidang dan itu juga menjadi pertimbangan juragan akan kesiapan Anis.
"Kami sekeluarga akan mendukung Anis, Bu Namira. Njenengan tidak perlu khawatir, karena kami tahu ia masih punya harapan yang panjang. Untuk biaya melanjutkan pendidikan pun itu menjadi tugas Zaki."
Pada akhirnya Bu Namira tidak bisa berkata apa-apa, semua penjelasan dari Zaki dan orang tuanya meleburkan ragu yang ada. Namun, ia tidak bisa begitu saja menerima karena hak itu ada pada putrinya.
Senyum tipis muncul dari Ibu Namira, "Saya sudah memaafkan tapi tidak bisa memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan juragan dan keluarga. Semua keputusan ada pada Anis. Dan alangkah baiknya juragan sendiri pun juga meminta maaf pada Anis secara langsung karena disini ialah yang paling tersakiti atas semua persoalan ini."
Pelukan hangat langsung diberikan umi Fia pada besannya itu yang berbesar hati memaafkan.
Lalu juragan, umi Fia dan Abah Amir kompak mengucap hamdalah, saling mengumbar kan senyum. Bahkan Abah Amir menepuk punggung putranya memberi pertanda tugasnya mengantar sang putra menjemput maaf dari mertuanya selesai. Tugas putranya sekarang adalah memperoleh maaf dari menantunya.
"Sekarang giliran Mas Zaki yang berjuang mendapatkan maaf dan meluluhkan hati Anis. Tapi sebelum itu Mas Zaki juga harus berusaha merubah panggilang Ibu Namira dulu sama Mas Zaki, masak mertua masih panggil menantunya juragan? ndak pantes."
Ucapan spontan Abah Amir itu berhasil mencairkan suasana membuat istri dan besannya terkekeh geli.
Gus Zaki alias juragan itu hanya tersenyum tipis mendekati mertuanya, "panggilnya Zaki mawon, Ibu."
Sudah beberapa kali ia meminta ibu Namira jangan memanggilnya juragan, cukup memanggil dengan sebutan le atau nang tapi masih saja belum dilakukan.
"Zaki, ibu titip Anis ya. Bimbing dan tegur dia jika salah agar menjadi wanita yang solihah."
Juragan mengangguk, "insyaallah, ibu. Pangestu ne" mengecup tangan mertuanya sembari bersorak gembira dalam hati. Sekarang giliran ia berjuang mendapatkan maaf dari Anis. Membawa istri kecilnya itu kembali dalam jangkauannya.
"Tunggu saya membawamu pulang, Nduk."
***
Happy New year!!
Pada main kemana nih??
Maaf njih baru muncul.. mau update malam 31 Desember malah ketiduran🤭Semarang
1 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudera Untuk Brahmana
SpirituellesSquel My Future Gus, tapi bisa dibaca terpisah (slow update) Kisah Nur Aniskurly dan Zaki Mustofa Althaf. Ganti judul dari Laksana menjadi Sudra untuk Brahmana . Dia bukan pria penuh senyum, dia pendiam, dia penuh rahasia. Aku suka, entah dari semua...