بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***'Jangan menilai sesuatu hanya dari satu sisi, coba perhatikan baik-baik. Tidak semua yang terlihat serupa akan sama persis, pasti ada perbedaan.'
________________Sinar matahari kali ini tampak meredup, awan mendung membentang luas di angkasa. Tak lama hujan turun begitu deras disertai angin kencang. Aku menghentikan kayuhan sepeda, menepi untuk berteduh di emperan toko kelontong yang tutup. Kuyakin ibu di rumah pasti cemas, melihat rintik hujan turun tapi anaknya belum juga pulang.
Mataku menyapu pandangan, mengabsen setiap pengendara motor yang lewat, siapa tau itu Juragan. Tatapanku seketika terhenti pada sosok pria dengan jaket kulit berwarna hitam yang berjalan mendekat sambil menuntun motornya ke arahku, mungkin ingin berteduh juga.
"Ya Allah, sorbannya Juragan basah. Aku lupa tidak memasukkan dalam kantong plastik." Aku terkaget ketika tanganku menyentuh sebuah kain berwarna putih yang basah, bergerak cepat mengeluarkan dari tas selempangku. Mengibas cukup keras agar airnya berkurang sebelum kumasukkan dalam kantong plastik.
Niat awal ingin mengembalikan sorban itu pada Juragan harus batal. Bahkan aku harus kembali membawanya pulang sebab tidak pantas jika kuberikan padanya dalam kondisi basah. Dan kini malah terjebak hujan di emperan toko bersama seorang pria.
Sekitar satu jam aku mematung bersama pria berjaket kulit itu tapi hujan tak kunjung reda. Sesekali suara petir menggelegar memekakkan telinga. Membuatku beberapa kali terkaget juga sedikit takut. Aku memutuskan duduk di kursi kayu dengan permukaan sedikit basah sembari memasukkan tangan dalam saku jaket yang kukenakan. Sedikit mencari kehangatan disaat udara terasa dingin dan lembab.
"Ketika kalimatmu tak terkontrol, penyesalan selalu datang setelah itu. Lihat Nis, pria baik yang menolongmu malah kau jadikan objek amukan ketika suasana hatimu kurang bersahabat," gumamku penuh penyesalan ketika kembali teringat pada Juragan.
Kepalaku menunduk, membiarkan air mata yang tiba-tiba meluncur tanpa permisi.
Aku ternyata masih lemah, benar-benar cengeng jika mengingat Juragan. Apalagi setelah ucapanku beberapa waktu lalu Ia tidak pernah datang menjenguk lagi. Bahkan setelah kepulanganku dari rumah sakit dan melewati gudang beras miliknya tetap saja tak menemukan kehadirannya. Kemana Ia sebenarnya? Sudah satu minggu lebih aku tak berjumpa dengannya.
Wajahku terangkat ketika melihat sebuah tangan mengangsurkan selembar tisu.
"Ambillah, usap air matamu itu."
Tanpa membalas aku langsung mengambil tisu itu. Mengusap sisa air mata di pipi lalu mengucap terima kasih. Entah apa yang ada pada pikiran pria itu. Bahkan sekarang Ia juga turut duduk di sampingku sembari membuka helmnya. Menoleh padaku sekilas sebelum bertanya.
"Dimana rumahmu?" tanyanya.
Aku seketika menoleh padanya, melihat pandangan pria itu tetap menatap ke depan. Raut wajahnya pun dari samping terlihat datar.
"Tidak jauh dari sini, Mas."
Setelah itu tidak ada lagi percakapan seiring hujan deras berganti menjadi gerimis tipis. Tubuhku bahkan sudah beranjak dari kursi menuju sepedaku yang terparkir di sudut toko. Berpamitan pada pria itu yang dibalas anggukan kecil.
Baru beberapa kayuhan, pedal sepedaku rasanya tak nyaman digerakkan dan membuatku berhenti ke tepian. Helaan napas berat terdengar dariku bersamaan ketika mengetahui penyebab sepeda butut di depanku ini tak nyaman karena rantainya terlepas. Mungkin aku harus menuntunnya hingga sampai rumah.
Belum sempat aku beranjak, suara klakson dari arah belakang membuatku menoleh. Melihat pria berjaket kulit tadi menghentikan motornya tepat di sampingku.
"Kenapa?"
Aku menunduk sambil menunjuk bagian rantai sepedaku. "Rantainya lepas, Mas."
Tidak ada balasan, tapi pria itu dengan sigap langsung turun dari motor dan memintaku sedikit menepi. Ia berjongkok lalu memeriksa kondisi rantai sepedaku setelah memarkirkan motor besarnya tadi di dekat pohon tak jauh dari posisi kami. Melepas jaket kulit berwarna hitam yang kemudian diletakkan pada jog motor. Melipat lengan kemeja warna navy yang digunakan hingga siku sebelum tangannya memperbaiki rantai sepedaku dengan alat seadanya. Begitu sibuk sampai mengabaikan celana bahan warna kelabu miliknya terkena sedikit oli.
Bibirku menyungging senyum tipis, memperhatikan gerak-gerik terampil pria itu. Ternyata masih ada pria asing yang baik sepertinya. Menepis anggapanku bahwa kebanyakan orang akan merendahkan orang yang tidak sepadan. Terlihat dari penampilanya bisa dikatakan pria itu berada, harga kendaraan motornya saja mungkin bisa digunakan membeli rumahku. Aku kembali teringat nasihat Mas Damar saat itu, menyuruhku sering husnudzon ketimbang menyangka buruk terus pada orang lain.
Tak butuh waktu lama, sekitar lima menit Ia telah selesai memperbaiki rantai sepeda. Memintaku mencobanya dan hasilnya sudah baik.
"Terimakasih, Mas ..."
"Nama saya Malik."
Setelah mengucapkan itu Ia langsung duduk di jog motornya bersamaan mengangkat telepon dari seseorang, membunyikan klakson seiring kepalanya menunduk sekilas padaku sebelum menjauh dari pandangan.
***
"Alhamdulillaah, akhirnya sampai rumah juga meski dengan baju sedikit basah."Langkahku terhenti ketika menyadari ada suara perbincangan dari arah ruang tamu. Aku yang masih di samping rumah memarkirkan sepeda mendadak terhenyak ketika mendengar seseorang memanggilku bersamaan tubuhnya berdiri di depanku.
Aku mematung sesaaat sebelum melangkah mundur, mataku memanas seiring deru napasku memburu. Sebuah bongkahan amarah seolah siap dimuntahkan dengan iringan tangisan.
Aku benci pria itu. Sungguh, aku belum bisa benar-benar memaafkan semua kesalahannya meski Ia tak lagi menoreh luka dan menganggu kehidupanku.
"Nduk, maafkan Paklek."
Pria itu semakin mendekat, bahkan kini bersimpuh di hadapanku dengan raut wajah sendu. Kedua matanya basah tergenang air mata, tangannya bergetar ketika berusaha meraih tanganku.
Aku membuang muka. Tidak ingin berpura-pura baik-baik saja ketika hatiku memang benar-benar belum bisa menerima kehadirannya. Tak lama suara tangisan yang menyayat terdengar, berulang mengucap kata maaf padaku hingga membuatku luluh dan akhirnya tak tega.
"Bangun, Paklek. Njenengan tidak perlu sampai berlutut seperti ini!" ujarku dengan tegas.
Ucapanku ternyata tak kunjung digubris, Paklek Abu masih tetap pada posisinya sebelum kedua tanganku sendiri yang menarik tubuhnya bangun dari posisi rendah itu.
"Kenapa baru sekarang Paklek mengatakan maaf? Apa sebenarnya salahku dan Ibu pada Paklek sampai selama ini bersikap buruk?" ucapku lirih cukup menusuk.
Pria setengah baya dengan uban diantara rambut hitamnya itu menggeleng lemah, mengusap puncak kepalaku.
"Paklek mu iki bodoh, Nduk. Bahkan tidak membalas kebaikan yang sudah Bapakmu berikan. Malah bertindak jahat dengan membuat keluarganya menderita. Maafkan Paklek, Nduk."
Ibu dan Gani yang sejak tadi memandang kami dari jauh mulai berjalan mendekat. Menggiring kami masuk ke dalam rumah. Tidak ingin kami menjadi tontonan para warga yang lewat.
Mataku membola ketika menemukan sosok pria yang tadi kucari tengah duduk bersila di ruang tamu rumahku. Memandang lamat padaku sebelum memutus tatapannya.
" Sejak kapan Juragan ada di sini?" gumamku dengan detak jantung begitu cepat.
"Apa sepedamu sudah betul diperbaiki pria tadi?" tanyanya terdengar lirih, bersamaan senyum aneh terlukis dari bibirnya. Tidak menghiraukan Ibu dan Gani yang menatap kami bergantian seolah meminta penjelasan.
Apakah Juragan tadi melihat kami? Lalu kenapa jika Ia melihat tidak menghampiri?
***
Semarang
2 Robiul Akhir 1443
7 November 2021

KAMU SEDANG MEMBACA
Sudera Untuk Brahmana
SpirituálníSquel My Future Gus, tapi bisa dibaca terpisah (slow update) Kisah Nur Aniskurly dan Zaki Mustofa Althaf. Ganti judul dari Laksana menjadi Sudra untuk Brahmana . Dia bukan pria penuh senyum, dia pendiam, dia penuh rahasia. Aku suka, entah dari semua...